‎Tak Berlakunya Bahasa Dunia untuk Akhirat

Java Tivi
0

_Esai Ramadan 3_

Si Jon berkisah setelah berdebat dengan seorang pemuka agama yang digugat karena telah menodai santriwatinya.


‎"Alam kubur ngeri _nemen_, yah," kata Jon sore lalu.

‎"Ngeri gimana _tah_? Ente baru _dapet kasyaf_?" tanyaku.


‎"Iya," jawab Jon. "Barusan aku lihat, ada orang-orang yang dulu alim di dunia, kyai, ustadz, tapi disana jadi orang bodoh. Saat dibacakan ayat kepadanya, seakan mereka baru dengar tentang itu. Aku tanya pada _seseorang_ yang mengajak-ku ke alam itu, 'kok bisa begitu'? Dia menjawab....


‎Al-A'raf ayat 175


‎وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغٰوِيْنَ


‎Dan bacakanlah (Muhammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang yang sesat.


‎Sangat mungkin sahabatku itu sedang berhalusinasi. Apalagi momen puasa seperti ini, sangat mungkin efek kelaparan akut, akhirnya dia berhalusinasi parah.


‎Tapi, manakah yang benar dan _nyata_, kehidupan dunia yang nampak di pandangan mata, ataukah akhirat dunia setelah manusia mati?


‎Pertanyaan ini tak mudah dijawab, sebab, _bahasa dunia sungguh-sungguh tak berlaku di akhirat sana_. Kita coba sentuh dulu apa yang para ilmuwan fisika barat temukan sekitar 80 tahun yang lalu : fisika kuantum.


‎Menurut fisika kuantum, semesta ini muncul tiba-tiba, bukan tanpa kausalitas, melainkan dari sesuatu yang seperti asap, tiba-tiba muncul materi. Lebih jauh, batu, kayu, air, atau segala sesuatu yang kita anggap diam, ternyata di tingkatan partikel mereka bergerak dengan kecepatan cahaya (300 ribu km/detik). Sekali lagi, manakah yang nyata, dunia yang di pandangan kita, ataukah apa yang telah ditemukan para fisikawan tersebut?


‎Bahasa dunia materi, sama sekali tak bisa dipakai untuk menggambarkan dunia di luar materi, apalagi akhirat. Entah mana yang konyol, apa yang kita lihat, apa yang para fisikawan itu katakan, atau yang dulu pernah diungkap Nabi Muhammad?


‎Maka, nampaknya apa yang diceritakan sahabatku itu perlu direnungkan. Jangan-jangan, identifikasi enak-tak enak, untung-rugi, nikmat-azab, dan hal-hal semacamnya juga terbalik? Jangan-jangan, apa yang kita kejar (keuntungan, kenikmatan, keenakan, dll) adalah apa yang nantinya akan kita sesali nanti. Lah, terus apakah kita mencari penderitaan? Mustahil.


‎Manusia, secara naluri mencari kenikmatan dan menjauh dari penderitaan. Bagaimana mungkin manusia melampaui nalurinya sendiri? Atau, pelatihan hidup macam apa yang menjadikan manusia mampu menikmati penderitaan? Bahasa _Stoik_ atau kaum sufi : _Senang atau sedih, sama-sama nikmatnya_. Betapa paradoksnya.


‎Pertanyaan terpenting, *mana yang harus kita percayai : mata kita, para fisikawan, atau ucapan nabi?* Manusia bodoh macam apa yang tak percaya bahkan pada pandangan matanya sendiri?


‎Itu benar-benar sulit dijawab.


‎Senin, 3 Ramadan, 3 Maret 2025

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)