Ada jenis cinta yang membuat manusia terangkat, dan ada jenis cinta yang justru meluruhkan dirinya. Perbedaan di antara keduanya sering kali tidak terletak pada seberapa besar perasaan itu membuncah, tetapi pada seberapa sadar perasaan itu bertumbuh. Di titik inilah kita harus berani mengatakan sesuatu yang jarang diakui: cinta yang sehat itu harus masuk akal, dan cinta yang benar itu harus lahir dari ilmu—dari proses mengenal, bukan sekadar merasa.
Selama ini banyak manusia diajarkan bahwa cinta harus melampaui logika, melawan nalar, dan membakar batas-batas rasio. Seolah-olah cinta baru sah jika ia membuat kita kehilangan kendali. Padahal, di situlah cinta mulai berubah bentuk: dari cahaya yang menuntun menjadi api yang menghanguskan. Cinta yang tidak masuk akal memang terasa agung di awal, tetapi hampir selalu meninggalkan reruntuhan di akhir. Ia lahir bukan dari kedalaman jiwa, melainkan dari kekosongan yang ingin segera diisi.
Cinta yang sehat bukan cinta yang dingin, bukan pula cinta yang kaku. Ia justru hangat karena ia berdiri di atas kesadaran. Masuk akal di sini bukan berarti kering dari perasaan, melainkan ditopang oleh pemahaman: tentang batas diri, tentang keterbatasan manusia, tentang tanggung jawab, dan tentang konsekuensi. Ia tidak bertanya, “Seberapa kuat perasaanku?”, tetapi, “Apakah yang kuhidupi ini membuat kami berdua bertumbuh?”
Lebih dalam dari itu, cinta yang benar bukan hanya masuk akal, tetapi berilmu. Dan ilmu di sini bukan sekadar pengetahuan tekstual, melainkan ma’rifah: pengenalan yang konsisten, sabar, dan jujur. Mengenal seseorang bukan hanya nama, tubuh, atau wajahnya, tetapi pola lukanya, cara ia bertahan hidup, bayang-bayang masa lalunya, dan arah jiwanya. Tanpa proses mengenal, cinta hanyalah proyeksi; kita tidak mencintai orang itu, kita hanya jatuh cinta pada bayangan yang kita bangun sendiri. Dan saat kita jatuh karena bayangan yang kita bentuk sendiri, dengan bodohnya menyalahkan seseorang yang kita cinta itu. Sungguh di luar nurul. Gak habis fikri.
Betapa banyak tragedi lahir bukan karena cinta terlalu besar, melainkan karena mengenal terlalu dangkal. Kita sering mencintai sebelum memahami, merindu sebelum mengetahui, dan berharap sebelum mengerti. Lalu kita menyebut luka itu sebagai takdir, padahal sering kali ia hanya akibat dari ketergesaan jiwa yang tidak sabar menempuh jalan ilmu.
Cinta dengan ilmu adalah cinta yang memberi ruang bagi akal untuk bernafas dan ruh untuk bertumbuh. Ia tidak memaksa, tidak mengecilkan, dan tidak menelan identitas satu sama lain. Justru di sana keindahannya: dua jiwa berdiri utuh, saling melihat dalam terang, bukan saling mencari dalam gelap. Mereka tidak saling memiliki, tetapi saling mengamanahkan diri.
Pada akhirnya, cinta yang masuk akal adalah cinta yang tahu batas, dan cinta yang berilmu adalah cinta yang tahu kedalaman. Di antara batas dan kedalaman itulah cinta yang sehat tumbuh: bukan sebagai badai yang meluluhlantakkan, tetapi sebagai cahaya yang tenang—yang tidak membuatmu hilang dari dirimu sendiri, dan tidak menjauhkanmu dari Tuhan.
"Cinta yang benar akan membuatmu semakin dekat pada Tuhan"
Dan mungkin, itulah cinta yang paling jarang dimiliki, sekaligus paling layak diperjuangkan.
