Melepas Ekspektasi, Bahkan dalam Hembusan Napas yang Paling Tipis

Java Tivi
0


Ada bentuk keterikatan yang paling sulit dilucuti oleh manusia: bukan yang besar, bukan yang dramatis, melainkan yang sangat halus. Ia bukan terletak pada kata-kata, bukan pada janji yang diucapkan terang-terangan, melainkan pada sesuatu yang hampir tidak disadari—ekspektasi yang terselip di sela-sela napas. Bukan yang menggelegar, tetapi yang berdiam seperti kabut tipis di dalam dada.

Melepas ekspektasi sering dipahami sebagai tindakan besar: berhenti berharap, menarik diri, memutuskan sesuatu. Padahal, yang paling menentukan bukanlah keputusan besar, melainkan kerja halus di dalam batin: mengosongkan kelekatan yang bahkan tidak kita sadari pernah kita genggam. Sebab, kadang kita sudah mengatakan, “Aku tidak berharap apa-apa,” tapi masih ada sehelai benang lembut yang mengikat hati pada kemungkinan yang sangat kecil. Itulah yang paling sulit dilepaskan.

Ada saat-saat ketika manusia merasa sudah ikhlas, sudah legawa, sudah pasrah. Namun di dalam satu tarikan napas yang nyaris tak terdengar, masih ada doa kecil yang tidak diucapkan, harap yang tidak dinamai, bayang yang tidak diakui. Dan justru di situlah ujian paling sunyi berlangsung: bukan pada hal-hal besar, melainkan pada bisikan batin yang hanya kita dan Tuhan yang tahu.

Melepas ekspektasi dalam hembusan napas yang sangat tipis berarti membebaskan diri bahkan dari kemungkinan-kemungkinan yang kita simpan diam-diam. Bukan karena kita tidak percaya pada keindahan takdir, tetapi karena kita ingin jujur pada diri sendiri. Tidak lagi menjadikan takdir sebagai sandaran keinginan, melainkan sebagai ruang penerimaan. Kita tidak lagi berkata, “Semoga…” dengan sisa-sisa tuntutan, tetapi berubah menjadi, “Jika tidak pun, aku tetap utuh.”

Di titik ini, manusia mulai belajar bentuk cinta yang paling jernih: cinta yang tidak menagih, tidak menawar, tidak menunggu balasan. Ia hanya hadir. Ia hanya mengalir. Dan bahkan kepada Tuhan pun, ia tidak lagi berdoa dengan nada transaksi, tetapi dengan nada penyerahan. Bukan, “Berilah aku ini,” melainkan, “Jadikan aku layak menerima apa pun yang Engkau tetapkan.”

Maka ketika kita berbicara tentang melepas ekspektasi, jangan bayangkan itu sebagai gerakan keras atau sikap heroik. Ia jauh lebih sunyi dari itu. Ia adalah kerja sunyi di ruang batin, ketika manusia diam-diam memutus tali yang nyaris tak terlihat. Ia adalah keberanian untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada sekecil apa pun kemungkinan yang berada di luar kuasa diri.

Dan mungkin, di situlah manusia benar-benar mulai bebas: bukan ketika ia berhenti berharap secara terang-terangan, tetapi ketika ia bahkan tak lagi menyimpan harap dalam napas yang paling tipis sekalipun.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)