Ada perbedaan yang sangat halus tetapi menentukan, antara terobati dan tersembuhkan. Terobati adalah ketika luka berhenti nyeri, ketika perih mereda, ketika badan dan jiwa tidak lagi berteriak. Tetapi tersembuhkan adalah sesuatu yang lebih dalam: luka itu tidak lagi menjadi pusat dari diri, tidak lagi menjadi identitas, tidak lagi menjadi bayang yang menentukan arah hidup. Banyak orang terobati, tetapi belum tentu tersembuhkan. Lebih sedikit lagi yang benar-benar menjadi sehat.
Manusia sering tergesa ingin sembuh, padahal yang sebenarnya ia cari adalah keutuhan. Ia ingin berhenti menangis, berhenti gelisah, berhenti merasa rapuh. Namun keutuhan bukan hanya tentang berhentinya rasa sakit, melainkan tentang berdamainya manusia dengan fakta bahwa rasa sakit pernah ada. Sehat bukan kondisi tanpa luka, tetapi keadaan batin yang tidak lagi diperintah oleh luka.
Terobati sering datang dari luar: dari waktu, dari pelukan, dari doa, dari pengertian orang lain. Ia seperti kompres dingin pada luka yang panas. Sangat membantu, sangat melegakan. Namun tersembuhkan adalah kerja dari dalam: ketika diri yang terluka perlahan berhenti menyalahkan dirinya sendiri, berhenti mempertanyakan takdir dengan nada amarah, dan mulai memeluk dirinya sendiri tanpa syarat.
Dan sehat adalah fase yang paling sunyi sekaligus paling agung: ketika luka tidak lagi harus dibenci, tidak harus dihapus, tidak harus disesali. Ia berubah menjadi pengetahuan. Menjadi kebijaksanaan. Menjadi kelembutan. Orang yang sehat bukan yang tidak pernah terluka - tersakiti, melainkan yang telah belajar berjalan dengan bekas-bekas luka tanpa lagi pincang secara batin.
Di titik ini, kesembuhan bukan lagi proyek untuk “memperbaiki yang rusak”, melainkan perjalanan pulang ke diri yang utuh. Terobati adalah berhentinya rasa sakit. Tersembuhkan adalah diterimanya sejarah diri. Sehat adalah lahirnya versi diri yang tidak lagi hidup dalam perlawanan, tetapi dalam pengertian.
Maka dapatkah manusia benar-benar sehat? Ya, tetapi bukan dengan menghapus masa lalu, melainkan dengan berdamai dengannya. Bukan dengan melupakan luka, tetapi dengan menempatkannya di tempat yang semestinya: sebagai guru, bukan sebagai penjara.
Dan saat itu terjadi, hidup tidak lagi terasa sebagai sesuatu yang harus dilawan, melainkan sebagai sesuatu yang bisa dihuni dengan tenang.
Bandung, 11 Desember 2025
