Kita Tak Selalu Harus Melawan, Tak Selalu Harus Menang

Java Tivi
0

Ada kebijaksanaan yang jarang dipelajari manusia, karena ia tidak terlihat heroik: kebijaksanaan untuk tidak melawan, dan keberanian untuk tidak selalu menang. Sejak kecil kita diajarkan bahwa hidup adalah arena pertandingan, bahwa nilai seseorang ditentukan oleh seberapa sering ia berdiri di puncak, dan seberapa keras ia bertahan dalam konflik. Padahal, tidak semua hal pantas diperjuangkan dengan perlawanan, dan tidak semua kemenangan adalah bentuk tertinggi dari harga diri.

Ada saat-saat ketika melawan justru memperpanjang luka. Ada konflik yang semakin keras dilawan, semakin dalam tertanam di dalam dada. Ada pertarungan yang tampak mulia di mata dunia, tetapi diam-diam menggerogoti ketenangan jiwa. Dan di situlah ironi kehidupan: kadang-kadang, bentuk tertinggi dari kekuatan bukanlah daya untuk menghantam, melainkan kemampuan untuk meletakkan senjata.

Tidak melawan bukan berarti pengecut. Ia adalah bentuk lain dari kecerdasan batin. Ia adalah pilihan sadar untuk tidak membiarkan diri terseret lebih jauh ke dalam pusaran ego, dendam, dan pembuktian. Tidak semua kata perlu dibalas. Tidak semua tuduhan perlu diluruskan. Tidak semua rasa sakit harus dibalas dengan perlawanan yang sepadan. Ada luka yang sembuh justru ketika ia tidak terus dipijat.

Begitu pula dengan menang. Menang sering dipahami sebagai berdiri di atas orang lain, lebih tinggi, lebih benar, lebih unggul. Namun dalam banyak kasus, kemenangan semacam itu hanya menyisakan kehampaan baru. Menang dari orang lain bisa jadi membuat kita merasa besar, tetapi kalah dari ego justru membuat kita utuh. Ada kekalahan yang menyelamatkan, dan ada kemenangan yang merusak.

Hidup tidak selalu membutuhkan kita menjadi pemenang. Terkadang hidup hanya meminta kita menjadi tenang. Tidak selalu diminta untuk membuktikan, tetapi untuk memahami. Tidak selalu dipanggil untuk mengalahkan, tetapi untuk mengalah—dalam arti yang paling bening: meletakkan diri secara jernih di hadapan kenyataan.

Ketika kita berhenti memaksakan diri untuk selalu melawan, kita mulai mendengar hal-hal yang selama ini tertutup oleh suara letih kita sendiri. Dan ketika kita berhenti memaksakan diri untuk selalu menang, kita mulai merasakan bahwa nilai hidup tidak terletak pada perbandingan, tetapi pada keutuhan.

Mungkin, di situlah manusia benar-benar menemukan damai: bukan sebagai pejuang yang selalu siap bertarung, tetapi sebagai jiwa yang tahu kapan harus berdiri - melawan, dan kapan harus melepaskan.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)