Menghafal, Memahami, Mengamalkan, dan 'Menjadi' Qur'an
Kalau lebaran Sabtu, berarti tulisan ini pas dibagi menjadi 4 bagian. Tapi kalau lebaran Jumat, maka dua judul akan dibahas dalam satu tulisan. Kita akan bahas *Menghafal Qur'an* lebih dulu.
Saat kuliah dulu, beberapa guru besar berdebat (tentu tidak dalam satu forum kelas mahasiswa), antara menghafal itu penting dan belajar sejarah jangan hanya dihafalkan. Kita belajar _taxonomi bloom_, tentang tingkatan belajar dan evolusi dari perkembangan kognitif manusia. Entah jika dulu saya tidak tergoda juga untuk 'mengulik' perdebatan dosen itu, mungkin logika saya tidak 'se-nakal' sekarang. Mudah-mudahan mereka semua (guru-guru besar dan dosen kita) selalu dalam kebahagiaan dunia akhirat.
Sejenak kita akan diingatkan dengan film '3 Idiots' dengan si master penghafal *Chatur Ramalinggam*. Tentu itu konyol. Kekuatan hafalan yang tidak diiringi dengan pemahaman. Di sisi lain, dunia kerja justru 'lebih butuh' orang-orang jenis itu : para penghafal tanpa tanya. Dunia kerja umumnya 'mengantisipasi' munculnya karyawan-karyawan yang cerdas, banyak tanya dan selidik. Di Eropa sana sebaliknya, orang yang banyak _mikir_ justru memiliki 'keistimewaan'. Sebab, biasanya mereka dapat 'melihat' solusi persoalan ketika banyak orang merasa buntu.
Jadi. apakah menghafal Qur'an itu penting? Jawabannya, penting sekali. Ibarat kurir pesan, para penghafal Qur'an itu punya fungsi 'mengerikan'. Bayangkan saja jika sebuah pesan antar kerajaan, misal, salah kata/makna, bisa menjadikan dua atau lebih kerajaan berperang habis-habisan. Dan itu Qur'an, sesuatu yang oleh orang beriman dianggap sebagai 'pesan langit'. Akan terjadi hal 'mengerikan' jika pesan itu disabotase, diubah, bahkan ditambahi. Ya, kita tak perlu bahas kitab-kitab langit apa saja yang sudah bernasib sial seperti itu.
Menjadi masalah ketika Qur'an ini berhenti hanya di tingkatan hafalan. Kita hanya menghafal tanpa memahami. Apalagi dua tingkat terakhir seperti di judul tulisan ini. Banyak artis mualaf bahkan mengatakan (dengan polosnya), bahwa mereka tidak percaya Qur'an 100%. Sebenarnya, yang mereka bilang Qur'an itu adalah kitab Qur'an dan terjemahannya. Dan dari terjemahan itulah mereka bilang tidak percaya 100%. Tentu kita paham itu.
Begini, menjadi kerumitan bagi para penerjemah Qur'an antara menerjemahkan untuk kepentingan umum, atau tanpa terjemahan. Mengapa? Sebab, bahasa Indonesia (maaf) 'terlalu miskin' untuk dapat menangkap makna kata-kata Qur'an secara tepat. Maka dari pertimbangan, tak bisa dijangkau kaum mukmin awam atau banyak terjemahan yang tidak tepat, bahkan 'sesat', pilihan pertama diambil para penerjemah itu. _Darul mafasid muqodamun ala jalbil masholih_ . Mengambil pilihan yang paling kecil kerusakannya/kerugiannya dari 2 pilihan yang memang keduanya jelek.
Di satu sisi, banyak orang atau bahkan pemuka-pemuka agama _cangkokan_ yang menjadikan Qur'an sebagai tameng kesalahan-kesalahannya sendiri. Tapi di sisi lain, jika tanpa terjemahan Qur'an tak akan mudah dipahami orang awam dan terancam hanya dihafalkan _thok_. Jadi, menurut teman-teman, mana yang lebih baik? Atau tidak keduanya, sebab kata Buddha, *pengetahuan adalah beban*. Jadi mending jangan tahu? Tapi, bukankah lebih enak jangan tempe? Heheheh.
ذهب ظمء و بتلتل ءرق و ثبتل اجر انشا الله
Selasa, 18 April, 27 Ramadan 2023
