Tak Berlakunya Bahasa Dunia untuk Akhirat (2)

Java Tivi
0

 _Esai Ramadan 30_



‎_Andai orang beriman memahami bahwa Qur'an diturunkan di bulan ramadan, sedangkan (menurut Aisyah istri nabi) akhlak nabi adalah Qur'an, bahwa Qur'an adalah "Nabi Muhammad" yang abadi, kita akan menyesal, setiap tahun nabi mengunjungi kita (di ramadan), namun kita tak menyadarinya. Itu seperti kita yang merasa mencintai seorang kekasih, tapi ketika kekasih itu datang, kita tak mengenalinya._



‎Al-Baqarah ayat 185


‎شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ


*Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an*, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). *Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah*. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.


‎_Mengapa puasa diwajibkannya di bulan ramadan?_ Pertanyaan ini seakan mudah dijawab dengan kesadaran di awal paragraf tadi : untuk bertemu dengan nabi, kita harus suci lahir dan batin, yaitu dengan cara berpuasa.


‎Persoalannya, seperti judul tulisan ini, "Bahasa dunia tak berlaku untuk akhirat". Bahwa bahasa pengucapannya sama, disini kita makan, di akhirat kita juga makan, misalnya. Tapi apa yang kita makan dan bagaimana kondisinya, itu sama sekali tidak bisa dibandingkan. Bahasa orang awam : perbedaannya _langit-bumi_.


‎Ramadan adalah bulan nabi berkunjung, menemui _saudara-saudaranya_ yang tidak pernah melihatnya namun mengimani nabi sepenuh hati.


‎Hadits melalui Anas Ibn Malik, Rasulullah

‎ ﷺ menyampaikan,


‎وَدِدْتُ أَنِّى لَقِيتُ إِخْوَانِى. قَالَ فَقَالَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَوَلَيْسَ نَحْنُ إِخْوَانَكَ قَالَ : أَنْتُمْ أَصْحَابِى وَلَكِنْ إِخْوَانِى الَّذِينَ آمَنُوا بِى وَلَمْ يَرَوْنِى.


‎Aku rindu ingin sekali berjumpa dengan saudara-saudaraku, para sahabat nabi radliyallahu ‘anhum berkata: “Bukankah kami saudara-saudaramu? Beliau menjawab: “Kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku walaupun mereka belum pernah berjumpa denganku.” (H.R. Imam Ahmad dalam musnadnya, Jilid: 20/37).


‎Di bulan ini, orang beriman mensucikan diri dengan cara berpuasa, untuk (sebenarnya) bertemu nabi. Gelar "takwa" yang menjadi tujuan adalah, seperti di judul esai pertama (Takwa : Kesadaran Titik Nol), Takwa atau ketaatan yang dicontohkan nabi. Terlepas dari kenyataan umat Islam yang tidak menyadari dan tidak mengambil manfaat sebesar-besarnya saat "bertemu nabi", setidaknya kita dikunjungi beliau. Sebab memang susah sekali bahasa dunia ini untuk menggambarkan akhirat. Konsepnya sama, tapi realitasnya (kenyataannya) sangat berbeda. Lebih parahnya lagi, sebagian kita menganggap bahwa realitas akhirat itu, gambaran-gambaran kehidupan akhirat, teranggap sebagai dongeng, halusinasi, imajinasi berlebihan dari orang-orang yang kena gangguan pikiran.


‎Di bulan ini para malaikat "berpesta", merayakan keagungan Allah, menyambut nabi berkunjung ke dunia. Dan jika nabi sudah turun, bagaimana mungkin para ulama terdahulu yang mencintainya tidak turut serta? Susahnya adalah, mereka hanya bisa disadari oleh hamba-hamba yang mengenal bahasa akhirat. Lebih susahnya lagi, orang yang mengenal bahasa akhirat biasanya justru orang yang di masyarakat dipandang sebelah mata, dianggap remeh, _not a something_. Maka memang kenikmatannya hanya dirasakan, diambil, secara privat. Seperti kisah si Jon yang tak mampu memahami ucapan gurunya.


‎"Apa gunanya, kalaupun jenengan benar, nabi datang berkunjung, sedangkan manfaatnya tidak bisa kita bagi untuk banyak orang, Syaikh?" tanya Jon.


‎"Kira-kira apa yang akan dipilih oleh orang-orang yang tak bisa menanam buah durian - misalnya, benih dan modal menanam atau buahnya?" tanya balik gurunya si Jon.


‎"Apa maksudnya, Syaikh? Aku bertanya tentang ramadan, kok jenengan bahas durian?" si Jon misuh-misuh.


‎"Haha," beliau tertawa. "Kau tak suka durian kah?" sambil tertawa ia menggoda muridnya itu.


‎"Yaa suka, tapi kan..."


‎"Coba berdoa dulu agar Allah izinkan hatimu mendapatkan pemahaman malam ini," pinta gurunya.


‎"Robbi Zidni ilma warzuqni fahma," si Jon berdoa.


‎"Kurang itu," kata gurunya.


‎"Oh-," si Jon teringat dengan ajaran gurunya tentang Nabi Musa yang gagal belajar pada Nabi Khidir. _Jika ilmu masih terlalu jauh dari kita, maka mintalah tambahan kesabaran agar kita mampu menelusurinya._


‎"Para Nabi adalah hamba-hamba yang diberikan ilmu, namun tidak diberikan bahasa untuk menyampaikan ilmu tersebut pada masyarakat," gurunya menjelaskan. "Sedangkan rosul, itu diberikan ilmu juga bahasa untuk menyampaikan. Pertanyaanmu itu benar, apa gunanya ilmu tanpa bahasa penyederhanaan?"


‎"Itu maksudnya, Syaikh," senyum Jon mengembang.


‎"Sebaliknya, bahasa untukku belum tentu sesuai dengan bahasa yang nantinya kau dapatkan. Sebab, orang-orang yang datang kepadamu pasti berbeda dengan orang-orang yang Allah datangkan padaku,"


‎"Lah terus bagaimana?"


‎"Kenikmatan ramadan itu hanya bisa dinikmati oleh hati. Dan urusan hati, itu bukan urusan orang lain, tapi diri kita masing-masing. Kenikmatan ramadan, bertemu nabi, atau berpesta dengan penduduk langit, seperti pesta di hotel-hotel berbintang, itu privat, eksklusif. Hanya orang-orang tertentu. Jika kita belum mampu menjadi tamu-Nya, maka bersabarlah. Jika menjadi tamu-Nya, maka bawalah hadiah yang mudah dipahami orang-orang," gurunya si Jon menjelaskan.


‎"Jika ramadan adalah saatnya kunjungan nabi atau pesta pora penduduk langit, maka bukankah ini terbalik dengan kenyataan pesta kita justru setelah ramadan usai (yaitu idul fitri), Syaikh?" tanya si Jon.


‎"Hehe," gurunya tertawa. "Itulah mengapa aku katakan : bahasa dunia (bumi) tidak berlaku, bertolak belakang, paradoks, dengan bahasa akhirat (langit),"


‎Bandung, 30 Maret, 30 Ramadan 2025.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)