Qur'an : Mengkodekan makna dalam sistem informasi subtil menjadi bahasa sederhana

Java Tivi
0


Di antara semua revolusi besar dalam sejarah sains, ada satu revolusi yang justru paling sunyi: peralihan paradigma dari energi menuju informasi. Pergeseran ini mungkin tidak meledak seperti relativitas Einstein, tidak mengejutkan seperti mekanika kuantum, dan tidak mengguncang seperti teori evolusi Darwin. Ia bergerak perlahan, seperti perubahan musim yang hanya terlihat oleh orang-orang yang peka terhadap angin. Namun justru revolusi inilah yang secara diam-diam merombak cara manusia memahami realitas.

Fisikawan abad ke-20 terbiasa bekerja dengan dua pilar besar: energi dan materi. Segala fenomena dianalisis sebagai perubahan bentuk energi atau transformasi materi. Tetapi saat dunia memasuki era komputasi, teori informasi Shannon, fisika kuantum, dan biologi molekuler, muncul pola-pola baru yang mengguncang fondasi lama: ternyata yang mengatur struktur realitas bukan sekadar energi, melainkan informasi yang memandu energi itu. Energi hanyalah “bahan bakar”; informasilah “peta”, “perintah”, dan “skrip” yang menentukan apa yang terjadi.

DNA, misalnya, membuat para ilmuwan gelisah: bagaimana mungkin seluruh tubuh manusia—mata, hati, tulang, otak—diatur oleh rangkaian kode digital empat huruf? Bagaimana mungkin sebuah makhluk hidup berkembang hanya dari serangkaian instruksi? Dan bagaimana mungkin informasi ini bertahan, beregenerasi, dan berinteraksi lebih mendalam daripada energi itu sendiri? Demikian pula dalam fisika kuantum: partikel tidak hanya bergerak mengikuti gaya, tetapi juga mengikuti informasi gelombang. Dalam teori David Bohm, gelombang pilot bukan energi, tetapi pola informasi yang membimbing partikel. Pada titik ini, sains tanpa sadar mulai mendekati sesuatu yang telah lama dibahas para sufi: bahwa realitas lahir dari makna, bukan hanya materi.

Revolusi informasi membuka celah yang selama ini tertutup rapat. Ia seperti retakan kecil pada tembok tebal sains klasik, retakan yang kemudian memperlihatkan cahaya di balik dinding: bahwa semesta ini mungkin tidak dibangun di atas batu bata energi, tetapi di atas struktur kesadaran yang mengkodekan informasi. Para ilmuwan kuantum mulai menyebut kesadaran sebagai variabel ontologis; para kosmolog mulai memikirkan ulang tentang ruang-waktu sebagai sistem komputasional; dan para neurolog menyelidiki intuisi manusia sebagai bentuk pemrosesan informasi nonlokal. Di sinilah logika resonansial mengambil perannya: ia tidak berbicara tentang sebab-akibat linier, tetapi tentang jaringan pola informasi yang saling memanggil dan menjawab—seperti doa yang memanggil takdir, seperti niat yang memanggil jalurnya, seperti gelombang otak yang memanggil jawaban dari lapisan realitas yang lebih halus.

Jika kita melihat revolusi ini dari sudut pandang agama, khususnya Al-Qur’an, maka segalanya menjadi lebih jernih. Selama berabad-abad manusia menganggap wahyu sebagai kumpulan perintah, larangan, atau cerita-cerita etis. Tetapi dalam perspektif informasi, Al-Qur’an tampak seperti kumpulan kode—sebuah struktur makna yang dikompresi luar biasa padat, sehingga hukum kosmik, sejarah manusia, metafisika jiwa, dan pola resonansi takdir semuanya dapat diturunkan menjadi bahasa manusia yang sederhana. Ia mirip seperti algoritma yang disalin dari dimensi kesadaran tinggi dan dipadatkan menjadi huruf, kata, dan ayat—tanpa kehilangan referensinya pada sumber ilahinya.

Di sini ada misteri halus: bagaimana mungkin struktur ilahiah yang melampaui ruang-waktu dapat ditranslasikan ke dalam bahasa Arab abad ke-7 yang sederhana? Ini seperti mencoba memadatkan kompleksitas galaksi ke dalam bentuk benih kecil; atau seperti menyalin gelombang cahaya ke dalam batu. Dan Qalam—“pena”—yang disebut dalam Al-Qur’an tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai pena fisik, tetapi sebagai metafora untuk mekanisme pengkodean kosmik: bagaimana kesadaran ilahi menorehkan pola-pola informasinya ke dalam struktur realitas.

Maka ketika Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan Adam dari tanah, atau perintah “Kun!” yang menciptakan sesuatu dengan seketika, atau catatan takdir yang tertulis sebelum dunia diciptakan, semua itu dapat dipahami bukan sebagai dongeng metaforik, tetapi sebagai bentuk paling awal dari “teori informasi ilahiah.” Ia menggambarkan bagaimana realitas bekerja dari sudut pandang Tuhan—di mana takdir bukan hanya rangkaian sebab-akibat, melainkan struktur informasi yang menunggu untuk direalisasikan oleh resonansi kesadaran manusia.

Dengan cara ini, revolusi informasi dalam sains modern tidak hanya menyelesaikan persoalan teknis; ia juga membuka ruang dialog baru yang selama ini terhalang oleh kesombongan intelektual: bahwa sains dan wahyu sebenarnya tidak berjalan di dua rel yang berbeda. Mereka seperti dua versi dari satu skrip kosmik: sains membaca skrip itu dari manifestasi padatnya, sementara wahyu membacakannya dari sumber cahaya.

Dan pada titik itulah, logika resonansial menjadi jembatan yang menghubungkan semuanya. Sebab ia tidak bertanya “apa sebabnya?” melainkan “apa informasinya?” Ia tidak berhenti pada energi, tetapi mencari pola yang mengarah pada makna. Ia tidak hanya melihat dunia sebagai kumpulan benda-benda, tetapi sebagai sistem resonansi, di mana kesadaran manusia adalah antena yang dapat menangkap dan mengubah jalur informasi.

Inilah revolusi diam-diam itu: sebuah perubahan paradigma yang membuat manusia bukan lagi sekadar pengamat semesta, tetapi bagian dari sistem informasi kosmik yang hidup. Dan di dalam sistem itu, doa, intuisi, takdir, malaikat, wahyu, dan mukjizat berhenti menjadi misteri religius—karena semuanya menjadi bentuk komunikasi, pertukaran data, dan resonansi makna dalam jaringan kesadaran yang sama.

Inilah dunia yang mulai terbuka. Dan buku Logika Resonansial lahir tepat di ambang perubahan itu.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)