Hidup manusia adalah cara Tuhan merasakan kepedihan dan kegembiraan makhluk-Nya

Java Tivi
0



Ketika Tuhan berfirman dalam hadis qudsi, “Wahai hamba-Ku, Aku lapar, mengapa kau tidak memberi-Ku makan?” atau “Aku sakit, mengapa engkau tidak menjenguk-Ku?”, mayoritas manusia membacanya hanya sebagai metafora moral: bentuk dorongan agar manusia saling peduli. Tetapi dalam horizon kesadaran yang lebih subtil, sabda itu bukan sekadar majas, melainkan penyingkapan mendalam tentang bagaimana Tuhan menautkan diri-Nya pada pengalaman manusia. Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa Tuhan menanamkan sebagian resonansi-Nya di dalam makhluk—bahwa setiap pengalaman manusia, sejauh ia dijalani dengan kejujuran batin, menjadi medium tempat sifat-sifat-Nya bergerak dan bergetar.

Di titik inilah, ungkapan “Tuhan ikut merasakan” bukan berarti Tuhan memiliki tubuh yang lapar atau indera yang lelah, tetapi bahwa Ia mengalirkan resonansi sifat-sifat-Nya ke dalam medan pengalaman manusia. Lapar manusia adalah tempat ar-Razzaq menegaskan kemurahan-Nya. Sebab, rezeki yang menutupi rasa laparnya adalah dari Tuhan. Sakit manusia adalah celah tempat ash-Shafi menampakkan daya penyembuhan-Nya. Kesepian manusia menjadi ruang gema bagi al-Qarib—Yang Maha Dekat—untuk memperlihatkan betapa Ia tidak pernah menjauh. Maka hakikat pengalaman manusia bukan terletak pada rasa itu sendiri, tetapi pada resonansi ilahiah yang berdenyut di baliknya.

Seperti dua cermin yang saling memantulkan cahaya, manusia merasakan dunia melalui tubuh sanubarinya, dan Tuhan—dalam cara yang tak dapat dibahasakan oleh logika linear—menyatakan sifat-sifat-Nya melalui pengalaman manusia. Itulah mengapa setiap empati manusia terhadap manusia lain, setiap uluran tangan yang tak diminta, setiap air mata yang jatuh tanpa disaksikan siapapun, sesungguhnya adalah ladang tempat sifat Ilahi digerakkan dan dikembalikan. Hadis qudsi tersebut bukan sekadar ajakan moral, melainkan deklarasi metafisik bahwa struktur pengalaman manusia adalah wahana manifestasi Tuhan.

Dengan demikian, hidup manusia tidak berdiri sebagai drama otonom yang dijalani sendirian; ia adalah fragmen dari Kesadaran yang lebih luas yang sedang mengalami diri-Nya melalui bentuk-bentuk kepadatan. Manusia menangis, dan di balik tangisan itu Tuhan menegaskan kelembutan-Nya. Manusia tertawa, dan melalui tawa itu Tuhan menunjukkan keluasan rahmat-Nya. Manusia terluka, dan melalui luka itu Tuhan menyingkap kadar ketangguhan jiwa yang Ia hembuskan pertama kali.

Ketika disadari demikian, kehidupan manusia berubah dari sekadar perjuangan eksistensial menjadi partisipasi kosmik: manusia bukan hanya diuji oleh Tuhan, tetapi juga dipakai oleh Tuhan sebagai alat untuk merasakan kasih-Nya sendiri. Kita adalah instrumen tempat Sumber mendengarkan gema diri-Nya, mengalami keindahan ciptaan-Nya, dan menyaksikan bagaimana cinta bekerja melalui bentuk-bentuk paling sederhana sekalipun. Maka puncak spiritualitas bukanlah meniadakan diri, tetapi menyadari bahwa seluruh diri kita—bahkan rasa lapar, rasa takut, rasa syukur, dan rasa sedih—adalah cara Tuhan menyingkapkan diri-Nya dalam wujud yang paling intim.

Pada akhirnya, manusia bukanlah makhluk yang Allah pandangi dari kejauhan; manusia adalah 'ruang' tempat Allah merasakan dunia yang Ia ciptakan. Dan karena itulah, setiap tarikan napas manusia membawa jejak dua dunia: dunia kepadatan yang kita lihat dengan mata kepala, dan dunia resonansi Ilahi yang hanya dapat dibaca dengan mata kesadaran. Di titik inilah hidup manusia menemukan martabat terdalamnya: bukan sekadar ada, tetapi menjadi wadah bagi penghayatan Tuhan sendiri.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)