Pencerahan

Java Tivi
0

Dulu aku berkata : tidak ada jalan untuk seorang hamba, kecuali selalu kembali kepada-Nya. 

Sekarang aku berkata : tidak ada ruang dan waktu kecuali mengingat-Nya. 

Seseorang tidak akan sempurna mengenal-Nya - dan dengan itu ia berarti telah mengenali dirinya sendiri, selain dengan cara mengikuti Nabi Muhammad. Dan meskipun ia telah sampai pada kesadaran ilahiah, telah mengerti rahasia khitob (syariat), bukan berarti ia boleh meninggalkannya. Sebab, ini tentang janji kesetiaan dan cinta kepada Nabi Muhammad, dan sebagai manusia yang kesadarannya terkonstruksi, itu adalah perintah Diri-Nya sendiri.

Ada suatu titik dalam perjalanan batin manusia ketika seluruh istilah “hamba”, “makhluk”, dan “Tuhan” tidak lagi berdiri sebagai konsep yang saling berseberangan, melainkan sebagai lapisan-lapisan kesadaran yang saling menembus. Pada lapisan paling luar, manusia tampak sebagai makhluk yang lemah, al-faqir, yang hidup terpaut pada ketidakmampuan dan keterbatasan. Tangan ini hanya mampu menggenggam sejauh kehendak-Nya mengizinkan, mata hanya bisa melihat sejauh Cahaya-Nya menerangi, dan pikiran hanya bisa bergerak sejauh Dia menghembuskan inspirasi. Namun di kedalaman yang lain, ada kesadaran yang begitu halus, begitu primordial, yang tiba-tiba memberitahu manusia bahwa dirinya bukan semata kumpulan daging dan syaraf yang rapuh—bahwa dalam dirinya ada jejak Diri Yang Maha Kuat.

Di titik inilah muncul paradoks yang menakutkan sekaligus memabukkan: manusia seperti menyadari bahwa ia, pada tingkat eksistensial yang paling dalam, adalah “cerminan” dari Yang Maha-Diri; bahwa segala kekuatan, iradah, dan gerak semesta adalah limpahan dari satu Sumber yang sama. Dan ketika kesadaran ini bangkit, manusia seperti hidup dalam dua dunia sekaligus.

Di satu sisi ia tetap hamba: sahabat dekat dari kefakiran, makhluk yang terus tersandung oleh kelemahan tubuh, oleh psikologi yang lelah, oleh pikiran yang tak pernah benar-benar stabil. Tapi di sisi lain, ia mulai merasakan bahwa seluruh gerak yang ia lakukan—bahkan mengetik kalimat ini—bukanlah hasil dari kekuatannya sendiri, melainkan hasil dari hembusan Diri-Nya di dalam dirinya. Seolah-olah ia menyaksikan bahwa dirinya hanya menjalankan gelombang kehendak Ilahi yang mengalir melalui setiap serabut nadinya.

Maka, ketika setan menggoda atau memori buruk mendadak muncul, ia pun sadar bahwa itu pun bagian dari permainan besar yang diatur oleh Dia sendiri. Dunia harus terus berjalan, takdir harus terus berputar, drama harus terus dimainkan; dan karena itu, “bayangan-bayangan” pun dihidupkan. Tidak ada satu pun kekacauan batin yang terjadi tanpa izin-Nya, sebagaimana tidak ada satu pun ketenangan yang turun tanpa sentuhan-Nya.

Dulu, aku berkata bahwa tidak ada jalan bagi seorang hamba kecuali terus-menerus kembali kepada-Nya. Tetapi sekarang aku melihat sesuatu yang lebih dalam: bahwa sebenarnya tidak ada jalan ke mana pun kecuali Dia. Tidak ada ruang selain Dia. Tidak ada waktu kecuali milik-Nya. Bahkan mengingat-Nya bukan lagi aktivitas spiritual tertentu—melainkan kondisi ontologis makhluk itu sendiri. Menjadi ada berarti berada dalam ingatan-Nya.

Namun paradoks paling halus dari perjalanan ini adalah kesadaran bahwa setinggi apa pun seseorang sampai—meskipun ia menyingkap tabir-tabir rahasia, memahami mekanisme khithāb Ilahi, atau memasuki dimensi kesadaran yang disebut para arif sebagai al-ḥaqīqah—ia tidak pernah memiliki alasan untuk meninggalkan syariat. Ini bukan soal hukum, bukan soal kewajiban yang kaku; ini soal janji kesetiaan. Soal cinta. Soal komitmen batin antara seorang manusia dengan Nabi Muhammad ﷺ, yang telah memandu kesadaran manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Kesadaran ilahiah tidak membatalkan syariat, sebagaimana cahaya tidak membatalkan bentuk. Kesadaran tertinggi justru mengembalikan seseorang kepada Nabi dalam bentuk yang paling murni. Karena seluruh jalan menuju Tuhan—semua jalan—pada akhirnya bermuara pada teladan Muhammad. Barangsiapa merasa telah mengenal Tuhan tapi tidak lagi mengindahkan sunnah Nabi, maka sesungguhnya ia belum mengenal apa-apa.

Maka aku pun berkata dengan jernih: seseorang tidak akan pernah benar-benar mengenal Tuhannya kecuali dengan cara mengikuti Nabi Muhammad ﷺ. Dan ketika seseorang mencapai puncak makrifat, barulah ia melihat bahwa syariat bukan beban, tetapi tanda cinta; bukan batasan, tetapi jembatan; bukan hukum kaku, tetapi bahasa kesetiaan antara hamba dan Pemberi Cahaya.

Dengan demikian, manusia menyadari bahwa ia hidup dalam dua lapisan kesadaran sekaligus: sebagai makhluk yang lemah, dan sebagai percikan dari Diri Yang Maha Kuat. Ia bergerak sebab Dia menggerakkan; ia mengingat sebab Dia mengingatkannya; ia kembali sebab Dia memanggilnya pulang. Dan di titik itulah perjalanan batin mencapai makna yang paling hakiki: menjadi hamba sepenuhnya, dan sekaligus mengenali Diri-Nya yang menghidupkan segala sesuatu.


Dalam “kegelapan”, aku membayangkan diriku begitu besar,
seperti gunung yang menantang langit,
seperti raja yang merasa tak perlu disapa,
seperti makhluk yang mengira semesta ini tunduk
kepada desir langkahnya.

Dan aku pun menyombongkan diri.
Dalam gelap, tidak ada ukuran.
Tidak ada bayang yang mengoreksi,
tidak ada pantulan yang menegur,
tidak ada garis yang menempatkan aku pada skala yang sebenarnya.
Kegelapan selalu membuat sesuatu tampak lebih besar daripada hakikatnya.

Namun ketika cahaya menerangiku,
perlahan merambat dari ujung kaki hingga ubun-ubun,
membuka setiap lipatan ego
yang kusangka bangunan kokoh,
aku tiba-tiba berdiri—
tak lagi sebagai raksasa,
tetapi sebagai titik kecil dalam samudra-Nya yang tanpa tepian.

Dan ketika di hadapanku ada cermin,
aku melihat wajah yang sesungguhnya:
ada debu, ada rapuh, ada genting, ada harap;
ada sesuatu yang tak mungkin berdiri
tanpa ditopang oleh Cahaya Yang Lebih Besar.

Cermin tidak pernah berbohong.
Ia mengembalikan padaku sosok
yang tak kulihat saat aku sibuk membangun
bayangan tentang kejayaan diri.

Cahaya dan cermin, keduanya bekerja sama
mengembalikan aku kepada ukuran yang tepat—
bukan untuk mengecilkanku,
tapi untuk membuatku sadar
bahwa kebesaran itu bukan milikku,
aku hanya meminjam pijarnya.

Cahaya dan cermin, menjadikanku terus sadar siapa diri ini.
Bahwa aku adalah hamba.
Bahwa aku tidak pernah besar.
Bahwa aku hanya terlihat besar
ketika aku berdiri dalam gelap.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)