‎Lebih dari Sekedar Mengendalikan, Puasa adalah Training Menejemen

Java Tivi
0


An-Nazi'at ayat 40


_Wa amma man khofa maqooma robbihi wa nahaa nafsa 'anil hawa_


‎Dan adapun orang-orang yang takut kepada Kekuasaan Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya.

‎Kata "Na-ha" ( نهى)

‎secara kamus memang berarti _melarang_, _mencegah_, tapi kata "Al Nu-Ha" (النهى) diartikan sebagai akal, kemampuan manusia untuk mengelola segala sesuatu.


‎Ibarat air yang mengalir, jika arusnya dikekang, maka akan ada waktu ketika arus itu memuncak, dan batas itu hancur. Keinginan-keinginan manusia juga begitu. Jika terus menerus dikekang, dibatasi, pada suatu saat akan ada kesempatan kita untuk _melampiaskan_ hal-hal yang kita inginkan. Jika pelampiasan keinginan itu tertuju pada hal-hal halal, itu oke. Tapi bagaimana jika berakhir pada hilangnya akal, ingin memuaskan diri tanpa kendali?


‎Maka, puasa adalah momentum, bukan tentang mengendalikan diri saat kita disuruh (seperti ramadan yang wajib berpuasa), melainkan kesadaran, dengan akal sehat (sebagai syarat wajib puasa). Sadar dari akal pikiran, bukan hanya ketika diperintahkan (seperti definisi *taqwa* di tulisan kemarin), tapi tanpa perintah pun mengelola, menejemen diri itu terwujud.


‎Puasa menjadi momentum training pengelolaan diri, menajemen diri, mulai dari kelola waktu, energi, keinginan, materil, dan tentu saja aktivitas produktif sehari-hari. Sebab, menjadi kausalitas pasti, antara kelola akal dan pelampiasan keinginan. Saat manusia melampiaskan keinginan, biasanya akal sehatnya tak begitu dimintai pendapat. Sebaliknya, saat akal sehat terkelola, keinginan-keinginan diri terjaga. Seakan secara profesional kita sudah paham betul, mana primer, sekunder, tersier, dan komplementer. Hal-hal utama sampai pada hal-hal yang jika tidak ada juga tak masalah, menjadi kesadaran baru dari _training menajemen_ bernama _puasa_.


‎Bagaimana mengelola nafsu dengan akal? Gunakan ilmu. Bagaimana mendapatkan ilmu? Dengan belajar. Nah, _entitas_ belajar inilah yang menjadi _maqom_ terberat. Sebab, umumnya - bahkan, setelah menjadi sarjana kita jadi malas untuk belajar lagi. Setelah kelulusan, wisuda, kita menjadi enggan untuk mengonsumsi buku-buku dan diskusi. Jika ditarik ke belakang, sebabnya juga karena tak mampu mengelola, _memenej_, waktu, energi, materi, dan hal-hal semacamnya di tiap hari. Bagaimana mungkin seseorang menjadi berilmu tanpa belajar? Dan pertanyaan yang lebih dalam, bagaimana seseorang menjadi bijak, jika pembelajarannya tak sampai diamalkan (_ngelmu iku kelakone nganti laku_)?


‎Paradoksnya, seseorang yang emosional, cenderung berilmu dangkal. Sedangkan seseorang yang tenang, kalem, cenderung berilmu. Alhamdulillah, dengan puasa ramadan, kita semua nampak berilmu.


‎2 Ramadan, 2 Maret 2025


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)