Oktober tanggal 8 tahun 2025, aku diberi karunia anak kedua — seorang putra, lagi. Dalam tradisi di desaku, ada satu hal yang tak tertulis tapi dipegang teguh oleh para ibu: bayi dan ibunya harus dimandikan dan dipijat oleh seorang dukun bayi. Maka aku pun mencari seorang dukun bayi yang dikenal baik oleh warga, dan kami membuat kesepakatan sederhana: empat puluh hari memijat dengan imbalan dua juta rupiah.
Secara hitungan, berarti sepuluh hari pertama sepadan dengan
lima ratus ribu. Tapi entah ada masalah apa, baru Sembilan hari, ia datang dan
menghitung – sendiri – bahwa ia telah memandikan selama 20 hari. Mendadak aku
garu-kgaruk kepala meski tidak gatal. Maksudnya gimana? Kita sama-sama
menghitung tanggal, kok dia ngotot kalua sudah bekerja 20 hari dan meminta 1
juta. Lebih detail, ia meminta jam 7 pagi – harus, sedangkan akua da uang jam
10 siang. Alhasil – dan memang ciri khas takdir hidupku memang dipaksa-paksa
begini, aku pinjam sana-sini. Nyoh. Lunas, besok ibunya si bayi akan
memandikan sendiri. 
Aku menatap wajahnya sesaat, lalu tanpa banyak bicara,
kuberikan saja uang itu.
Bukan karena aku tidak tahu cara berhitung, bukan pula karena aku takut pada
pandangan orang.
Aku hanya diam sebentar, menengok ke langit — dan bertanya dalam hati: “Apa
maksud peristiwa ini, ya Allah?”
Sebab aku percaya: tidak ada kejadian yang kecil di hadapan
Tuhan. Setiap ketidakadilan, setiap pelanggaran, setiap pergeseran dari
kesepakatan — adalah cermin kecil dari hukum besar yang sedang bekerja di jagat
raya.
Tentang Janji yang Dilupakan
Kisah itu mengingatkanku pada satu kesepakatan yang jauh
lebih purba, yang kita semua pernah ikrarkan — tapi telah kita lupakan:
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuhan kami), kami bersaksi.”
(QS. Al-A’raf: 172)
Itulah momen paling jujur dalam sejarah kesadaran manusia. Saat
ruh-ruh kita masih bening, sebelum dibungkus daging, ruang dan waktu, kita
mengiyakan Tuhan dengan tanpa ragu.
Itulah Perjanjian Primordial — kesepakatan agung antara Pencipta dan
ciptaan.
Namun kini, di dunia ini, di balik debu ambisi dan kabut
kesibukan, berapa banyak manusia yang mengingkarinya?
Kita melanggar janji itu setiap kali kita menipu, membenci, atau menganggap
hidup ini milik kita sendiri. Dan Tuhan — seperti aku kepada dukun bayi itu —
tetap memberi rezeki.
Keadilan yang Tidak Terburu-Buru
Aku bisa saja marah waktu itu.
Secara logika, aku berhak.
Tapi ada sesuatu dalam diriku yang menahan.
Mungkin karena aku tahu: Allah pun tidak tergesa menghukum manusia yang
melanggar janji-Nya.
Dia biarkan kita hidup, makan, mencintai, bahkan berbuat
dosa dengan leluasa.
Seolah-olah tiada balasan. Tapi justru di situlah letak kasih sayang yang
paling dalam: Ia memberi waktu agar kita sempat memahami.
Maka ketika aku menyerahkan uang itu, ada rasa yang sulit
dijelaskan — antara kecewa dan tenteram.
Aku merasa seolah sedang diajari sesuatu:
Beginilah rasanya menepati janji, bahkan kepada orang yang melanggarnya.
Kesepakatan sebagai Jembatan Spiritual
Kesepakatan bukan hanya urusan ekonomi. Ia adalah cermin
kejujuran batin.
Sebab dalam setiap janji terdapat ikatan kepercayaan. Ketika satu pihak
melanggar, bukan cuma rezeki yang rusak — tetapi ikatan kepercayaan yang
runtuh.
Dan yang lebih halus: setiap kali kita menepati janji,
bahkan dalam perkara kecil, kita sebenarnya sedang memperbaiki resonansi
dengan alam Ilahi.
Kita sedang menggemakan kembali janji purba di Lauhul Mahfuz itu:
“Kami bersaksi bahwa Engkaulah Tuhan kami.”
Setiap akad yang kita tepati — dengan istri, dengan sahabat,
dengan tukang pijat, bahkan dengan diri sendiri — adalah gema kecil dari
perjanjian besar itu.
Kadang aku bertanya-tanya: bagaimana perasaan Tuhan melihat
kita?
Melihat manusia yang setiap hari berjanji untuk jujur tapi tetap menipu,
berjanji untuk taat tapi terus lalai.
Betapa pedih-Nya menyaksikan ciptaan yang Ia beri kebebasan justru menukar
kesetiaan dengan dunia.
Dan tetap saja, Ia memberi rezeki.
Ia tidak menahan udara, tidak menahan cahaya, tidak menahan kasih.
Bahkan ketika kita berpaling, Ia masih memeluk dengan cara yang tak kita sadari
— dengan ujian, dengan penyesalan, dengan peristiwa kecil yang menampar lembut
seperti kejadian dukun bayi tadi.
Mungkin Tuhan sedang mengajarkan:
“Beginilah rasanya Aku menyaksikan kalian melanggar kesepakatan-Ku, namun
Aku tetap memberi kalian rezeki. Dan saat kau kecewa atas pelanggaran
kesepakatan, begitu juga yang Aku rasakan, Apakah Aku tak boleh berbagi
kepedihan denganmu, wahai hamba-Ku?”
Setelah peristiwa itu, aku tidak lagi melihat dukun bayi itu
sebagai orang yang menipu, tapi sebagai utusan yang membawa pelajaran tentang
janji. Ia datang bukan untuk memijat bayiku saja, tapi juga memijat
kesadaranku. Sebab setiap kejadian, seaneh apa pun, adalah firman yang
sedang menjelma dalam bentuk pengalaman. Kita hanya perlu sedikit diam —
sedikit menengok ke langit — untuk membaca maksudnya.
Dan aku mulai menyadari:
barangkali, Tuhan sedang melatihku untuk menjadi cermin kecil dari
cara-Nya menepati janji, tanpa pamrih, tanpa tergesa membalas.
Janji dan Kehormatan Jiwa
Pada akhirnya, setiap kesepakatan adalah cermin siapa diri
kita. Manusia yang menepati janji, betapapun kecilnya, sedang menegakkan kehormatan
jiwanya sendiri. Dan manusia yang melanggarnya, sedang mengikis cahayanya,
sedikit demi sedikit.
Maka, aku belajar: jangan terburu menilai orang yang
melanggar kesepakatan denganmu.
Mungkin mereka sedang diuji di level kejujuran, sedangkan engkau sedang diuji
di level kesabaran. Dan barangkali, di atas semua itu, Tuhan sedang menguji
apakah engkau masih ingat dengan kesepakatan purba itu — bahwa seluruh hidup
ini hanyalah janji untuk kembali kepada-Nya.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji, dan janganlah kamu melanggar sumpahmu sesudah meneguhkannya.”
(QS. An-Nahl: 91)
