_Esai Ramadan 24_
Seekor anjing besar milik seorang raja mengamuk di jalanan. Ia menghancurkan, menggingit, menakuti siapa saja yang ia temui. Di dalam sebuah surau (mushola jaman mbien), ada seorang ustadz muda - si Jon namanya. Ia baru saja pulang belajar pada seorang Syaikh di puncak gunung. Belajar kesabaran, hukum-hukum, bahkan "melihat Tuhan" dimana pun ia berada. Melihat warga yang ketakutan, ia bertekad menenangkan anjing itu.
"Dasar warga awam, tidakkah kalian melihat Allah yang menggerakkan anjing itu?" bisik si Jon di dalam hati.
Sebelum si Jon bertarung dengan anjing, warga sudah mengingatkan, melarang, agar tetap di surau saja. Biar petugas kerajaan yang akan menangkap anjing gila itu. Tapi, hatinya sudah _jadzab_, ia merasa Tuhan memanggilnya untuk menaklukan anjing itu.
Lalu pergilah ustadz Jon berhadapan dengan anjing gila. Belum apa-apa, dzikir dan doa belum sempat ia rapalkan, anjing itu menggonggong keras. Mengejar, menyeruduk, merobek sarung dan pantat kurusnya. Ia berteriak minta tolong, tapi warga tak ada yang berani mendekat. Untung saja, petugas kerajaan datang sebelum si Jon babak belur oleh "Tuhan yang menggerakkan anjing itu".
Setelah satu bulan penyembuhan, si Jon datang ke puncak gunung menemui Syaikh-nya.
"Jenengan salah, Syaikh," kata Jon setelah merenungi perkelahian dengan anjing. "Aku "melihat" Allah di anjing itu, tapi mengapa anjing itu tetap menerkam-ku?"
"Goblok!" seru gurunya si Jon. "Kau melihat Allah di anjing itu, tapi tak melihat Allah pada warga yang mengingatkan-mu!"
Si Jon yang petakilan itu akhirnya sadar, betapa belagu hatinya, merasa telah paham ilmu dari gurunya itu.
"Bagaimana kau akan menaklukan sesuatu diluar dirimu, jika _anjing_ (nafsu) di dalam dirimu belum mampu kau tundukkan?" kata gurunya si Jon lagi. "Kau sudah benar, bahwa apa yang dilakukan anjing itu bukan sebuah keburukan. Tapi kesombongan-mu itu lebih buruk dari apa yang anjing itu lakukan. Kau mendaki gunung ini dengan keyakinan yang salah : setiap apa yang tidak sesuai pemahaman-mu kau sebut sebagai keburukan. Belajarmu masih gagal,"
Si Jon tertunduk lemas. _Petakilannya_ seketika lenyap. Pemahaman dan keyakinan yang selama ini ia genggam kuat sejak kecil, bahwa keburukan itu berbeda dengan kebaikan - secara batin, salah besar. Bahwa apa yang disebut keburukan selama ini adalah apa yang nafsu dalam dirinya menolak untuk mendapatkannya. Sedangkan sebenarnya, keburukan adalah cara Tuhan untuk mengajari hamba-Nya agar melihat lebih jernih. Agar sejenak menenangkan diri dan merenung, seringkali kebaikan Tuhan datang dengan bungkus yang buruk. Lalu manusia seketika menolak dan tak mau menyentuhnya. Sebaliknya, tak ada satupun manusia - dijamin, akan menolak berlian meski hanya dibungkus kantong keresek hitam layaknya sampah yang kita buang tiap hari.
Senin, 24 Maret, 24 Ramadan 2025
