Ketika Tuhan Hanya Menjadi Batu Loncatan

Java Tivi
0

Kamis, 30 Oktober 2025

Akhir-akhir ini aku merenungkan satu hal yang mengusik pikiran :

apakah Tuhan membenarkan mereka yang menjadikan agama sebagai bahan bakar industri motivasi — yang menjual “keberlimpahan”, “kekayaan”, dan “kesuksesan spiritual” dengan memakai istilah-istilah suci?

Pertanyaanku sederhana :
apakah Tuhan rela dijadikan batu loncatan untuk ambisi duniawi?

Aku teringat sebuah hadits tentang Dajjal: ia akan mendatangi suatu kaum, dan ketika mereka menaatinya, bumi memberi keberlimpahan; tapi ketika menolaknya, mereka hidup dalam kesulitan. Hadits itu, bagiku, bukan sekadar nubuat eskatologis — tapi juga cermin psikologis zaman ini. Sebab, bukankah kini kita hidup dalam realitas yang serupa? Siapa yang mengikuti arus sistem dunia, tampak makmur dan damai; siapa yang menolaknya, seringkali digilas kekurangan dan penderitaan.

Paradoksnya, justru kesulitan dan kepedihan sering menjadi cara Tuhan memanggil manusia kembali kepada-Nya.
Yang disebut “buruk” oleh nafsu, kadang adalah bentuk kasih Tuhan yang paling jujur.

Namun dunia modern membalikkan cermin itu.
Yang laku dijual bukan lagi kesadaran, melainkan kenyamanan.
Yang dikejar bukan ma‘rifatullah, tapi manifestasi keinginan.
Konsep-konsep agama dikemas ulang menjadi “energi positif”, “getaran rezeki”, “frekuensi syukur”—dan di balik semua itu, terselip satu tujuan yang sama: aku ingin dunia.

Lalu aku bertanya dalam diam:
apakah salah jika mereka mengejar dunia?
Barangkali tidak — sebab dunia ini memang permainan.
Tuhan sendiri menyebutnya la‘ibun wa lahwun — permainan dan senda gurau.
Maka mungkin aku, mereka, dan kita semua sedang bermain di arena yang sama,
hanya berbeda jenis mainannya saja.

Namun tetap saja aku resah.
Jika semua ini permainan, apa inti dari permainan itu?
Apa yang menjadi core, pusat, atau tujuan terdalam dari hidup ini?

Mungkin jawabannya bukan pada kekayaan, juga bukan pada kesulitan.
Mungkin inti dari permainan ini hanyalah satu:
mengenal Si Pemain itu sendiri.


Derajat Logika Resonansi dan Ilusi Tajrid

Kini aku mulai memahami sesuatu:
bahwa para pelaku bisnis motivasi yang menggunakan dalil-dalil agama, sebenarnya telah sampai — sadar atau tidak — pada derajat logika resonansi.
Mereka telah menemukan bahwa realitas bisa beresonansi dengan getaran batin; bahwa pikiran, keyakinan, dan ucapan dapat mengubah jalannya nasib.
Dan memang, secara metafisis, ini benar adanya.
Apa yang mereka jalankan — affirmation, law of attraction, visualisasi rezeki, bahkan “energi syukur” — semua adalah bentuk modern dari prinsip tajrid, yakni melepaskan diri dari kebergantungan sebab-sebab lahiriah, dan hidup dengan keyakinan penuh bahwa Tuhan-lah yang menanggung segalanya.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal:
Dalam tasawuf, tajrid bukanlah strategi. Ia bukan metode untuk menarik keberlimpahan, melainkan keadaan ruhani yang lahir dari ketundukan total.
Seorang salik yang tajrid tidak sedang mempraktikkan “resonansi kekayaan”;
ia justru sedang menghapus dirinya dari persamaan,
hingga hanya Tuhan yang tersisa dalam kesadarannya.
Dan ketika “hanya Tuhan” yang tersisa, maka datanglah rezeki — bukan sebagai hasil, tapi sebagai pantulan keberadaan Tuhan dalam dirinya.

Itulah yang membedakan tajrid sejati dari tajrid industri.
Yang pertama: Tuhan adalah pusat, dunia hanyalah bayangan.
Yang kedua: dunia menjadi pusat, dan Tuhan dijadikan lensa pembesarnya.

Maka benarlah kegelisahan itu:
Apakah Tuhan telah menjadi second matter — urusan kedua,
sementara yang utama adalah “gaspol” menuju keberlimpahan?

Di titik ini, permainan spiritual berubah jadi pasar.
Dan pasar, betapapun ramainya, tak pernah menyisakan ruang sunyi untuk mengenal Tuhan lebih dalam.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)