Apakah durhaka hanya bisa ke orang tua saja?
Ada seorang ayah yang mengadukan kenakalan dan kedurhakaan anaknya pada Umar bin Khatab. Ia bercerita, anaknya selalu berbicara kasar, membentak, maupun perbuatan durhaka lainnya. Singkat cerita, ayah dan anak itu dikumpulkan untuk diinvestigasi.
"Jangan buru-buru menyimpulkan, wahai Amirul mukminin," kata anak. "Bukankah orang tua juga punya kewajiban kepada anak?"
"Ya benar," jawab Umar.
"Apa saja itu?" tanya anak.
"Memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang baik, dan mengajarkan Qur'an," jawab Umar.
"Tidak satupun dari tiga hal itu aku dapatkan," kata anak. "Aku punya ibu yang buruk (sifat) dari Agama Majusi, aku diberi nama Ji'lan, yang berarti kumbang, dan ayahku tak pernah mengajarkan barang 1 huruf Qur'an pun,"
Singkat cerita, ayah anak itu yang mendapat kemarahan dan pendidikan pemimpin umat Islam saat itu, Umar bin Khotob.
Kalau kita lihat, sebagian besar diksi kata *durhaka* di Qur'an dan hadits yang disematkan untuk manusia, itu menggunakan kata " 'A-sho " ( عصا ), kata ini adalah akar kata dari *maksiat*, عصا، يوصي، معصية، yang arti mudahnya adalah menentang, membangkang, melawan. Kata عصا sendiri berarti *tongkat* / tongkat pemukul, seperti tongkatnya nabi Musa yang menjadi ular dan membelah lautan, itu menggunakan diksi ini, عصا. Sebaliknya, membangkangnya / durhaka nya Fir'aun pada Musa juga menggunakan kata yang sama, معصية (ma'siyat/maksiat). Maka, kedurhakaan sebenarnya bukan pada orang tua, guru, kyai, ulama, istri pada suami atau sebaliknya, dsb. Melainkan durhaka (menentang) pada ajaran / jalan Nabi dan Allah. Seperti kisah di atas tadi. Dan itu bisa siapa saja.
Maka, hubungan sosial umat muslim memang harus didasarkan atas persamaan, dan selebihnya (sikap-sikap yang beda) adalah toleransi. Sebab, jika terjadi 'kedurhakaan', perbedaan sikap hidup dengan ajaran nabi, lalu *ditentang* (dilawan), عصا, maka yang terjadi adalah kekacauan sosial. Ini pentingnya toleransi pada orang-orang yang berbeda sikap di luar wilayah hukum pidana. Maksud di luar hukum pidana, semisal ada anak yang dipukul/bullying atau semacamnya itu bisa masuk ranah hukum pidana. Hal seperti itu bukan lagi harus ditoleransi, tapi sudah masuk tindakan kejahatan.
Sekali lagi, durhaka bukan hanya label anak terhadap orang tua, istri terhadap suami, siswa kepada guru, santri kepada kyai, atau sebaliknya. Melainkan perlawanan sikap terhadap ajaran nabi, kewajiban-kewajiban Allah dan rasul-Nya, atau singkat kata, hidup *semau gue* tanpa asas keadilan (menempatkan sesuatu tepat pada tempat dan waktunya). Bagaimana dengan para juru dakwah yang lebih sering membahas kedurhakaan anak pada orang tua dan istri pada suami? Ya ini tentang keistiqomahan belajar, mengaji, kita harus memahami *kapasitas* para juru dakwah kita yang pandangannya masih sepihak. Sebab, _simetris_ atau komprehensif dalam ilmu itu hanya dimiliki orang alim, bukan sekedar juru dakwah.
_Selamat medang..._
ذهب ظمء و بتلتل ءرق و ثبتل اجر انشا الله
Rabu, 27 Maret 2024
