Tidak Butuh 'Identitas Langit'

Java Tivi
0

Ada satu bahaya halus dalam perjalanan spiritual manusia: ketika ia mulai terbebas dari permainan dunia, justru di sanalah permainan lain menunggunya—permainan “langit”. Jika dunia menggoda manusia dengan status sosial, kekayaan, tepuk tangan, dan pengakuan, maka langit menggoda manusia dengan bentuk yang lebih halus: klaim kedekatan dengan Tuhan, rasa istimewa sebagai hamba terpilih, pengakuan sebagai wali, orang khusus, atau makhluk yang memegang rahasia yang tidak dimiliki orang lain. Ia bukan lagi mabuk dunia; ia mabuk kesucian.


Di sinilah letak paradoksnya: semakin seseorang naik dalam spiritualitas, semakin halus pula bentuk kejatuhannya. Keangkuhan tidak selalu berjalan dengan kepala tegak; kadang ia berbalut syukur, kerendahan hati semu, dan kata-kata indah tentang kehambaan. Hati merasa “sudah sampai” padahal ia baru sampai pada bayangan dirinya sendiri. Maka orang-orang arif selalu berkata: bahaya terbesar spiritual bukan dosa, tetapi rasa telah dekat.

Karena itu, ada manusia yang memilih jalan yang jauh lebih jujur: ia tidak membutuhkan identitas langit. Tidak perlu disebut orang suci, tidak perlu diberi gelar wali, tidak perlu diakui sebagai manusia pilihan. Ia menolak semua mahkota simbolik yang mungkin disodorkan kepadanya. Ia tahu, setiap mahkota selalu membawa racun halus di bagian dalamnya, racun yang namanya ego ruhani—lebih tajam dari kesombongan dunia, lebih mematikan karena terasa seperti kebaikan.

Mengapa ia menolak identitas langit? Karena ia menemukan inti yang lebih dalam dari seluruh perjalanan: menjadi hamba.


Bukan hamba yang diagungkan karena derajat spiritualnya, tetapi hamba biasa yang hanya ingin tetap berada di hadapan Tuhannya tanpa perlu disebut siapa-siapa. Hamba yang tidak ingin menonjol di antara manusia, tidak ingin menjadi pusat perhatian malaikat, bahkan tidak peduli apakah namanya tercatat dalam legenda keruhanian atau tidak. Baginya, kebahagiaan spiritual bukanlah dikenal di langit, tetapi diterima sebagai hamba yang tulus—tanpa gelar.

Di sinilah letak kemuliaannya: ketika manusia sudah tidak lagi sibuk dengan surga atau neraka, tidak lagi sibuk dengan apakah dirinya “terpilih” atau tidak, tetapi hanya ingin bersama Tuhan, maka ia telah melampaui permainan simbolik spiritual. Ia tidak bertransaksi dengan ibadahnya. Ia tidak menjadikan kezuhudan sebagai identitas. Ia tidak menjadikan kedalaman ruhani sebagai pencitraan batin. Ia hanya ingin berada di hadapan-Nya, dalam bentuk yang paling sederhana: lemah, sederhana, dan sepenuhnya bergantung.

Namun, manusia yang sampai pada titik ini justru paling sadar bahwa bahaya masih ada. Karena bahkan kalimat: “Aku tidak butuh identitas langit” pun bisa berubah menjadi identitas baru yang lebih licin dari ular. Kerendahan hati bisa berubah menjadi kebanggaan tersembunyi: bangga karena merasa tidak bangga, sombong karena merasa tidak sombong, merasa mulia karena menolak kemuliaan. Itulah sabotase setan yang paling tua—membungkus keangkuhan dengan keindahan.

Maka satu-satunya jalan aman adalah kembali kepada satu posisi yang paling orisinil: ketidakpastian diri di hadapan Tuhan.


Tidak membangun konsep tentang diri sendiri, tidak menempelkan label, bahkan tidak mengukuhkan rasa “aku telah sampai”. Hanya berjalan, hanya berharap, hanya mengetuk tanpa berhenti. Seperti Nabi yang paling mulia pun tetap disebut ‘abdullah, hamba Allah—sebuah gelar yang bukan status kehormatan, tetapi pengakuan total akan ketidakmandirian eksistensial.

Pada akhirnya, seluruh perjalanan spiritual bukanlah perjalanan menuju status, melainkan perjalanan menuju ketiadaan status. Bukan menuju bayangan identitas baru, melainkan menuju kehampaan ego yang tenang. Tidak ada yang tersisa kecuali seorang manusia yang berdiri kecil di hadapan kebesaran-Nya, yang setiap harinya terus memohon: Tunjukkan aku bahwa aku belum apa-apa. Jangan biarkan aku merasa cukup dengan diriku sendiri.”

رَبِّ أَرِنِي أَنِّي لَسْتُ شَيْئًا إِلَّا بِكَ، وَلَا قُوَّةَ لِي إِلَّا مِنْكَ، وَاهْدِنِي إِلَى حَقِيقَةِ الْعُبُودِيَّةِ لَكَ
Rabbi arinī annī lastu shay’an illā bika, walā quwwata lī illā minka, wahdinī ilā ḥaqīqati al-‘ubūdiyyati laka.


“Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku bahwa aku bukanlah apa-apa selain dengan-Mu; tiada kekuatan bagiku kecuali dari-Mu; dan tuntunlah aku kepada hakikat kehambaan kepada-Mu.”

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)