Ada sebuah kalimat Nabi yang bagi sebagian orang terdengar seperti kutukan, tetapi bagi dunia yang belajar membaca simbol-simbol eksistensi, kalimat itu justru tampak seperti rumusan ontologis tentang nasib kosmos yang kita tinggali: الدنيا ملعونة — dunia ini terlaknat. Pada tataran bahasa harfiah, kata mal‘ūn hanya berarti: terlaknat, dijauhkan dari rahmat, dikeluarkan dari limpahan kedekatan Ilahi. Tetapi ketika kata ini dipertemukan dengan cara kita memahami realitas dari perspektif kosmologi modern, tiba-tiba ia membuka pintu tafsir yang jauh lebih dalam: dunia ini bukan hanya “tidak ideal”, ia adalah ruang yang secara hukum dasarnya memang condong menuju kerusakan, keteruraian, dan ketidakteraturan. Dunia ini, dengan kata lain, bergerak mengikuti hukum entropi.
Dalam fisika, entropi adalah semacam garis nasib materi: energi yang semakin menyebar, keteraturan yang semakin melemah, struktur yang semakin kehilangan pusat. Tidak ada sistem materi yang secara alamiah menuju keteraturan; segala sesuatu bergerak pada gradien penurunan energi terarah, menuju kehancuran yang pelan tetapi pasti. Yang menarik adalah: Nabi tidak pernah berbicara dengan bahasa laboratorium, tetapi ia menyampaikan hukum yang sama dalam bahasa spiritual. Ketika beliau menyebut dunia sebagai mal‘ūn, itu berarti dunia ini bukan rumah rahmat, bukan tempat stabilitas ontologis, bukan ruang keheningan abadi; ia adalah wilayah keterputusan dari sumber ketertiban tertinggi. Dan apa yang terputus dari rahmat, pada akhirnya akan ikut hukum kebinasaannya sendiri.
Di sinilah mal‘ūn bertemu entropi. Laknat bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi penanda kondisi ontologis: sesuatu yang dijauhkan dari pusat rahmat berarti kehilangan gravitasi spiritual yang menyatukan, kehilangan daya yang menahan keterpecahan, kehilangan energi yang menjaga bentuk. Sebagaimana dalam fisika, energi yang stabil menjaga struktur tetap bertahan; ketika energi memudar, struktur runtuh. Maka “laknat” di sini dapat dibaca sebagai “defisit rahmat”, dan defisit rahmat itu berarti meningkatnya “ketidakteraturan wujud”. Dunia ini memang berjalan menuju kehancurannya, bukan karena Tuhan membencinya, tetapi karena memang begitulah ia diletakkan: sebagai ruang yang tidak final, sebagai panggung sementara, sebagai kawasan yang kodratnya adalah kefanaan.
Qur’an menyebut fenomena ini dengan kata lain: ظَهَرَ الْفَسَادُ — telah tampak kerusakan, seakan kerusakan bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan jejak alami dari sebuah sistem yang sejak awal membawa bibit keteruraian. Hadits-hadits tentang akhir zaman semakin menegaskan arah besar pergerakan ini: bukan menuju puncak kesempurnaan dunia, tetapi menuju puncak keterpurukan moral, spiritual, dan eksistensial. Semuanya menyatu dalam satu garis pemahaman: dunia ini tidak sedang membangun rumah keabadian, ia sedang bergerak menuju titik kelamnya sendiri.
Namun laknat Nabi bukan nihilisme. Di tengah deklarasi “entropi spiritual” itu, Nabi menyisakan satu jalur anomali kosmologis: kecuali dzikir kepada Allah, ilmu, dan orang-orang yang hidup dalam orbit pengetahuan dan kesadaran Ilahi. Pada titik inilah, dunia yang “mal‘ūn” itu menemukan pengecualian. Rahmat yang kembali disambungkan bukan sekadar menenangkan jiwa, tetapi bertindak sebagai energi yang menahan keruntuhan. Pada bahasa fisika: sebuah sistem yang diberi energi tambahan bisa melawan entropi; pada bahasa ruhani: sistem kehidupan yang tersentuh rahmat bisa melampaui nasib kosmologis materi.
Maka, mal‘ūn bukan sekadar kalimat ancaman; ia adalah penjelasan metafisik tentang struktur dunia. Dunia adalah wilayah jatuhnya keteraturan Ilahi ke dalam materi, dan materi membawa hukumnya sendiri: rapuh, pecah, menyebar, dan akhirnya lenyap. Sementara itu, entropi bukan sekadar teori fisika; ia adalah cara lain untuk mengatakan bahwa dunia tidak pernah dimaksudkan menjadi surga. Yang stabil hanyalah yang terhubung kepada Yang Maha Stabil; yang selamat hanyalah yang menemukan tali menuju rahmat. Di luar itu, dunia akan tetap menjadi dunia: bergerak, rusak, dan menuju keteruraiannya sendiri.
Dan mungkin, di sinilah kalimat Nabi itu mencapai puncak kebijaksanaannya: beliau tidak sedang memaki dunia; beliau sedang memberi tahu sifat hakikatnya. Dunia ini mal‘ūn, karena entropinya memang kodrati. Yang kita lakukan bukan menghentikan kerusakan kosmos, melainkan menemukan cara hidup yang tidak ikut hanyut dalam arus kehancurannya.
