Evolusi Kesadaran

Java Tivi
0


Sebagian orang menyingkap rahasia semesta lewat angka - matematika, dan sebagian lagi hanya mengucapkan rahasia itu lewat bahasa lisannya. Ada yang mendaki, dan ada pula yang sekedar 'menunggu'. Namun keduanya sama-sama mendapatkan rahasia itu. Sebagian manusia mensucikan diri dengan perjuangan fisiknya, dan sebagian lagi mensucikan diri dengan babak belur mendidik hati dan pikirannya.

Ketika fisika modern meruntuhkan kepastian dunia mekanistik yang selama berabad-abad dipercaya sebagai wajah tunggal realitas, para ilmuwan besar itu sesungguhnya tidak hanya kehilangan teori—mereka kehilangan “rumah” intelektualnya. Dunia yang dulu dianggap tertata, rasional, dan bisa dipahami dengan garis lurus sebab–akibat tiba-tiba pecah menjadi cermin-cermin tak beraturan: partikel yang juga gelombang, kepastian yang berubah menjadi probabilitas, kenyataan yang bergantung pada pengamat, dan keberadaan materi yang ternyata memiliki bayangan antimateri. Sains, yang dulu berdiri sebagai benteng kepastian, tiba-tiba membuka gerbang menuju wilayah yang terasa lebih mirip mistik ketimbang laboratorium.

Pada titik inilah, sesuatu yang jauh lebih dalam terjadi: mereka tidak sekadar mencari teori baru, mereka mencari bahasa baru untuk memahami kenyataan. Bahasa logika Barat yang linear, dualistik, dan tegas ternyata tidak cukup lagi. Rasionalitas yang selama ini diagungkan tiba-tiba tampak sempit, seperti baju yang terlalu kecil untuk tubuh realitas yang terus tumbuh. Maka, tanpa disadari, para ilmuwan itu melangkah ke tanah yang selama ini dianggap wilayah para sufi, yogi, dan pertapa Timur. Mereka datang bukan sebagai orang beragama, tetapi sebagai musafir yang haus. Mereka mendatangi Weda, Bhagavad Gita, Tao Te Ching, dan ajaran Buddhis bukan untuk beribadah, melainkan untuk menemukan bahasa jiwa yang sanggup berbicara sejajar dengan bahasa matematika.

Karena di Timur, mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan dalam tradisi filsafat Barat modern: keberanian untuk mengakui bahwa realitas memang paradoks, bahwa kebenaran tidak selalu tunggal, bahwa dua hal yang saling bertentangan dapat hidup sebagai pasangan yang saling melengkapi. Di Taoisme, Bohr menemukan simbol yang menggambarkan inti pemikirannya: yin–yang. Bukan sekadar dekorasi orientalis, melainkan pernyataan ontologis: dunia bukan duel antara hitam dan putih, tetapi tarian yang hanya lengkap ketika keduanya saling memeluk. Bukankah ini yang terjadi pada gelombang dan partikel? Pada kepastian dan ketidakpastian? Pada materi dan antimateri?

Schrödinger melangkah lebih jauh. Baginya, persoalan bukan hanya tentang paradoks, tetapi tentang kesatuan. Ketika ia memandang fungsi gelombang yang seolah menghubungkan segala kemungkinan, ketika ia menyadari bahwa batas antara pengamat dan yang diamati kabur, ia mendapati dirinya sampai pada gagasan yang sangat dekat dengan filsafat India: bahwa pada lapisan paling dalam, kesadaran itu tunggal. Bahwa apa yang tampak jamak sebenarnya hanya permainan bentuk. Dan ia menyadari bahwa bahasa yang sanggup memeluk gagasan itu bukan bahasa logika Eropa, tetapi bahasa Vedanta yang lembut namun tajam, yang tidak memaksa realitas tunduk pada konsep, tetapi membiarkan manusia larut di dalamnya.

Dan kemudian ada Oppenheimer. Ia tidak datang ke Gita untuk mencari teori, melainkan datang sebagai manusia yang memikul dosa peradaban. Ketika ia melihat ledakan cahaya yang seakan membuka tirai rahasia kosmos, ia menyadari bahwa sains tidak lagi menjadi permainan intelektual yang dingin. Ia berubah menjadi kekuatan kosmik, yang dapat mencipta sekaligus memusnahkan. Pada momen itu, ia memerlukan bahasa yang mampu memikul ketakutan eksistensialnya. Injil tidak berbicara dengan cara itu. Filsafat rasional Barat pun tidak. Tetapi Gita pernah berdiri di medan perang batin seorang manusia, dan ia tahu bagaimana berbicara di saat seluruh dunia gemetar. Dalam kata-kata Krishna, Oppenheimer menemukan bukan pembenaran, tetapi kesadaran akan besarnya tanggung jawab kosmik yang kini berada di tangan manusia.

Maka tampaklah bahwa gerak para ilmuwan besar itu bukanlah gerak pindah agama, bukan gerak lari ke mistik karena frustrasi. Ini adalah gerak evolusi kesadaran. Ini adalah pengakuan jujur bahwa matematika mampu mengungkap struktur alam, tetapi tidak cukup untuk menenangkan jiwa manusia di hadapan keagungan kenyataan. Ini adalah kesadaran bahwa pengetahuan tanpa makna akan melahirkan kekosongan; bahwa kepintaran tanpa kebijaksanaan hanya akan mengantar manusia pada kehancuran yang indah namun mengerikan.

Dan mungkin di sinilah letak pelajaran terdalamnya: bahwa peradaban tidak hanya bergerak maju secara teknologi, tetapi juga harus bergerak dalam secara spiritual. Bahwa pada akhirnya manusia membutuhkan dua bahasa sekaligus: bahasa angka untuk memahami mekanisme kosmos, dan bahasa makna untuk mengerti mengapa kita ada di dalamnya. Timur bukan “lebih benar” dari Barat, dan Barat bukan “lebih ilmiah” dari Timur. Yang terjadi adalah, keduanya sedang dipanggil untuk bertemu dalam satu horizon yang lebih luas, di mana pengetahuan tidak memusuhi kebijaksanaan, dan iman tidak takut pada sains.

Barangkali, yang sedang terjadi—pelan namun pasti—adalah proses besar yang jarang disadari: manusia sedang belajar bahwa alam semesta bukan hanya objek yang dingin untuk diukur, tetapi juga pesan yang dalam untuk direnungkan. Dan di saat matematika membawa kita pada struktur terdalam realitas, maka tradisi spiritual membawa kita pada kesadaran terdalam diri kita sendiri. Pada titik itulah, mungkin, ilmu pengetahuan tidak lagi sekadar mengajarkan kita tentang dunia, tetapi mulai menuntun kita memahami siapa sebenarnya yang sedang memandang dunia itu.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)