Melawan dengan cara yang tidak ikut merusak jiwa

Java Tivi
0


Bagaimana mungkin kita menjaga kejernihan jiwa sekaligus tidak membiarkan kehancuran ini terus berjalan?

Jalan para nabi tidak pernah sekadar diam, tetapi selalu bergerak dengan kesadaran, bukan dengan ego. Jalan para wali tidak pernah tunduk pada tirani, tetapi juga tidak membalas tirani dengan tirani versi mereka sendiri. Mereka berdiri, tetapi berdiri dengan jiwa yang tetap utuh.

Karena kejahatan yang merusak bumi, merusak hutan, merusak laut, merusak manusia, tidak hanya lahir dari keserakahan ekonomi—tetapi lahir dari jiwa yang kehilangan Tuhan. Maka melawan kejahatan seperti itu tidak cukup hanya dengan demonstrasi tubuh; ia memerlukan demonstrasi kesadaran. Amarah yang tidak dibimbing akan melahirkan monster baru. Tetapi diam yang tidak disertai tauhid hanya akan melahirkan kehancuran yang lebih dalam. Maka Islam selalu mengajarkan jalan tengah yang bukan kompromi: jalan perjuangan yang tetap menjaga kebersihan hati.

Kita melawan dengan memastikan bahwa yang bergerak bukan dendam kita, tetapi amanah kita sebagai khalifah. Kita menolak kezaliman bukan karena kita merasa lebih suci dari para pelaku kerusakan itu, tetapi karena kita tahu bumi ini bukan milik mereka, bukan milik kita, tetapi titipan Allah yang harus dijaga. Kita tidak boleh diam karena kediaman itu berarti mengkhianati tugas amanah. Tetapi kita juga tidak boleh menghancurkan jiwa kita dalam prosesnya, karena jiwa yang retak tidak lagi mampu menjadi saksi kebenaran.

Di sinilah jihad yang paling hakiki menemukan maknanya: menahan diri agar tidak jatuh ke dalam logika kebencian, tetapi tetap teguh berdiri menghadang kerusakan. Kita menolak tunduk pada logika “biarlah ini semua kehendak takdir”, sebab para nabi tidak pernah menjadikan takdir sebagai alasan pasrah terhadap kejahatan. Tetapi kita juga tidak menjadikan diri kita tuhan kecil yang merasa berhak menentukan nasib dunia, karena segala sesuatu tetap berada dalam genggaman-Nya.

Melawan dengan cara yang tidak merusak jiwa adalah melawan dengan ilmu, dengan akhlak, dengan keberanian, dengan kesadaran spiritual, dengan solidaritas sosial, dan dengan keyakinan bahwa Allah tetap memegang kendali sejarah. Itu berarti kita bergerak: berbicara bila harus berbicara, menulis bila harus menulis, turun ke jalan bila itu jalan yang amanah, mengedukasi masyarakat, membangun alternatif yang lebih sehat, menolong korban, dan terus menjaga nurani tetap hidup. Tetapi di saat yang sama, kita menjaga hati agar tidak dipenuhi dendam, tidak memupuk kebencian yang membakar diri sendiri, tidak mengotori jiwa dengan rasa ingin membalas. Kita berdiri dengan wajah yang tegar, tetapi hati yang tetap lembut.

Karena mungkin inilah jihad paling berat di zaman ini: tidak membiarkan kejahatan menang di luar diri kita, dan tidak membiarkan kebencian menang di dalam diri kita. Kita hadir sebagai saksi bahwa manusia masih bisa tegak tanpa menjadi liar, bisa peduli tanpa menjadi fanatik, bisa marah tanpa kehilangan cinta kepada kebenaran. Dan selama kesadaran itu masih menyala, dunia ini belum sepenuhnya kalah.

Kita sedang hidup dalam dunia di mana kejahatan tidak selalu datang dengan wajah murka; ia sering datang dengan wajah kemajuan, investasi, pembangunan, bahkan atas nama masa depan. Inilah medan paling berbahaya. Jika zaman Nabi terdahulu kezaliman itu kasar, kini ia halus, sistemik, berlapis, dibungkus narasi modernitas. Di sinilah letak ujian kesadaran. Kesadaran bukan sekadar menyadari bahwa ini salah; kesadaran adalah kemampuan untuk tetap tegak di dalam arus yang kuat, tanpa kehilangan jiwa, tanpa ikut menjadi serigala, namun juga tidak mundur menjadi domba yang hanya meratap.

Maka kita tidak diminta untuk diam. Kita diminta menjadi barisan penjaga keseimbangan: menasihati, mengingatkan, bergerak secara sosial, membangun kesadaran massa, memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum, moral, intelektual, spiritual—apa pun yang dapat kita lakukan tanpa kehilangan kemurnian niat. Kita mungkin tidak mampu meruntuhkan seluruh struktur kejahatan yang besar, tetapi kita wajib memastikan bahwa diri kita tidak menjadi bagiannya—bahkan tidak dengan sebutir niat pun.

Namun di titik inilah etika resonansial bekerja. Perlawanan bukan berarti dendam. Pembelaan bumi bukan berarti amarah gelap. Melawan kezaliman bukan berarti kita meminjam bahasa setan untuk menentang setan. Kita melawan dengan kesadaran al-faqr, bahwa kita tidak sedang menjadi pahlawan melawan Tuhan, tetapi menjadi makhluk yang sedang membantu semesta tetap dalam jalur kasih sayang-Nya. Kita menjaga bumi bukan karena kita kuat, tapi karena kita setia.

Maka sikap orang beriman bukan tunduk pada kerusakan, tetapi juga bukan larut dalam kebencian terhadap pelaku kerusakan. Kita mengambil jalan ketiga: jalan kehormatan spiritual. Kita tetap bersuara, tetap bergerak, tetap memperingatkan, tetap memperjuangkan yang bisa diperjuangkan, sambil memahami bahwa hasil akhirnya tetap milik Allah. Dan ketika bencana datang—banjir, longsor, kemarau panjang—kita tidak sekadar membaca itu sebagai murka, tapi juga sebagai panggilan: “Apakah kau masih ingin hidup sebagai manusia yang sadar, atau akan menyerah menjadi makhluk yang ikut arus?”

Jadi, ini bukan tentang membiarkan dunia berjalan tanpa perlawanan. Ini tentang memastikan bahwa perlawanan kita tetap suci, tetap masuk akal, tetap manusiawi, dan tetap terhubung dengan langit. Sebab tugas kita bukan memastikan sejarah tunduk pada kehendak kita; tugas kita memastikan bahwa jiwa kita tetap tegak di hadapan Allah, ketika dunia sedang berlari menuju keruntuhannya sendiri.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)