_Esai Ramadan 11_
Akan sangat baik, jika dalam hidup ini kita mengikuti arahan sang nabi. Tapi, memang derajat iman seseorang berbanding lurus dengan kemampuannya menampung _luka_, dalam jalan arahan nabi tersebut. Di satu hadits, nabi meramalkan bahwa akan datang zaman yang kita sulit sekali untuk mempertahankan syariat. Maksud syariat disini adalah jalan petunjuk nabi.
Jika saudara kita menjatuhkan kita di tengah-tengah komunal, publik, dan kita punya kapasitas, ilmu, untuk menjatuhkan dia - membalasnya, apakah kita akan melakukannya juga? Itu adalah _ahwal_ bahwa kita harus naik _maqom_, derajat. Terimalah anggapan gila, aneh, kentir, oleh komunal ataupun oleh saudara kita sendiri. Jadilah _Ghuroba_ (hamba-hamba penempuh jalan sunyi). Susah? Ada satu _ijasah_ agar kita mampu melakukan jalan terbaik yang sangat sulit itu.
Jangan lihat yang memusuhi kita itu saudara kita sendiri. Lihat (dengan sudut pandang itu) setan-setan di belakangnya. Dan mereka (setan-setan) tak tahu sedang memilih salah satu takdir Allah yang paling buruk. Setelah kita melihat itu, menyadari ini, pura-pura-lah sedih, kalah, bingung, blunder. Sedang sebenarnya, kita sedang _ngopi_ di sisi-Nya sambil menonton dari atas _bidak-bidak catur_ (hamba-hamba pemain sandiwara dunia) yang sombong.
Al-Anbiya' ayat 19
وَلَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَمَنْ عِنْدَهٗ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَلَا يَسْتَحْسِرُوْنَ ۚ
Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih.
Ibarat konsep _berkah_ yang kemarin kita bahas, ada peluang untuk membalas _luka_ dari orang lain - saudara, teman, keluarga, dll - tapi kita lebih memilih untuk memaafkan. Sebab, selain itu akan membuat kita sama dengannya, juga akan membuang energi yang sebenarnya bisa kita gunakan untuk hal positif. Kekuatan yang kita punya, meski bisa untuk memuaskan nafsu, namun lebih memilih untuk mengelola nafsu itu sendiri, dan rela dengan perlakukan saudara kita. Memaafkan tak sama dengan melupakan. Maafkan dia, tapi jangan pernah melupakannya. Dan jika tak mau dilukai lagi sebab tak tega membalas, maka hijrah-lah.
Seperti konsep puasa, lapar, lemas, mungkin ada yang tetap melakukannya meski sakit, tetap menyusuri jalan nabi sekalipun terluka parah. Ada jalan untuk tidak berpuasa, atau ikut sahur tapi siangnya makan di warung, namun memilih tetap tegak _menggigit syariat dengan gerahamnya_ (bahasa hadits). Dan kelak, ketika di hadapan Tuhan dan nabi kita nanti, hamba-hamba yang dikagumi adalah mereka yang menunjukan banyak luka selama menjalankan syariat nabi dan hukum Tuhan.
Selasa, 11 Ramadan, 11 Maret 2025
