_Esai Ramadan 22_
Lama si Jon tidak bercerita tentang petualangan halusisaninya selama ramadan ini. Sebab itu saya tidak menulis beberapa hari - itulah alasannya. Ternyata ia sedang diajak gurunya untuk mengunjungi surga dan neraka. Ia bercerita tentang halusinasi ke surga dan neraka itu. Perbincangan dengan gurunya.
"Jadi, kau tahu kan, mengapa pahala dan dosa tidak menjadikanmu takut lagi?" tanya gurunya si Jon.
Yang ditanya cuma menarik nafas panjang.
"Pahala dan dosa untuk mereka yang merasa perbuatan baik dan buruk adalah usaha mereka sendiri," gurunya si Jon menjelaskan. "Sedangkan seseorang yang telah sadar, ia berbuat baik atau tertakdir buruk adalah kehendak-Nya - meski merasa bersalah saat berbuat buruk, ia tak layak mendapatkan pahala lagi,"
"Tapi bagaimana jika argumentasi itu digunakan mereka yang berbuat jahat?" Jon mendebat gurunya. "Mengklaim bahwa kejahatan yang mereka lakukan adalah perintah Tuhan?"
"Lha, kau hidup kan di negara hukum bukan di negara teokrasi*?" jawab gurunya santai. "Setiap perbuatan jahat ya bisa dilaporkan dong?"
Si Jon belum puas.
"Maksudnya, apa yang aku jelaskan itu tentang ibadah hati. Bukan tentang baik buruk secara syariat," lanjut sang guru. "Di hatimu itu, tidak menjadi motivasi lagi pahala ataupun dosa. Kau berbuat baik pada orang lain tanpa merasa itu adalah usahamu, dan kau berbuat buruk untuk dirimu sendiri - bukan pada orang lain, itu juga dipaksa oleh-Nya,"
"Mengapa sampai begitu, bib?" tanya si Jon.
"Lihat di neraka dan surga itu," gurunya menunjuk seseorang yang berada di tengah arus sungai, saat akan keluar menepi, dilempari ia dengan batu. "Lihat manusia itu di dunia bawah sana, dan di neraka di depanmu, itu adalah pemakan riba."
Aneh sekali. Si Jon bisa menyaksikan seseorang yang katanya pemakan riba itu di neraka, sekaligus melihat saat ia masih hidup di dunia. Di dunia ia menikmati harta, bahkan sedekah dan menyantuni anak yatim, tapi di neraka dia disiksa begitu.
"Lalu kau lihat seseorang yang beristri 50.000 wanita cantik itu," gurunya si Jon menunjuk ke salah satu surga. "Lihat dia ketika di dunia juga, di dunia ia adalah seorang pemuda yang menjaga kehormatannya dengan kerelaan dihina banyak teman-temannya," itu mengapa, derita di dunia berbanding terbalik kondisinya dengan di surga. Begitupun neraka.
Aneh, sungguh aneh. Seakan si Jon masuk ke ruang cctv, yang bisa melihat seseorang di masa lalu sekaligus di masa depannya.
"Kau mau tahu yang lebih aneh?" tanya gurunya si Jon.
Muridnya cuma menarik nafas panjang. Ia mulai kehilangan akal sehat. Disiplin logika filsafat materialismenya remuk saat itu juga. Tiba-tiba gurunya mengutip satu ayat Qur'an.
Ash-Saffat ayat 51
قَالَ قَاۤىِٕلٌ مِّنْهُمْ اِنِّيْ كَانَ لِيْ قَرِيْنٌۙ
Berkatalah salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) pernah mempunyai seorang teman,
Gurunya membaca sampai ayat 57.
"Kau lihat orang di surga itu?" seseorang yang dalam ayat itu. "Dia menyesali dirinya yang mengajak ke keburukan, namun ajakan di hatinya ia tolak, dan memilih kebaikan meski pedih resikonya,"
"Maksud jenengan, kita di saat ini akan berbeda tempat dengan kita di masa lalu dan kita bisa menengok itu?" Jon mulai puyeng. "Bahwa manusia di surga nanti bukan cuma satu, tapi banyak, dan bisa saling menengok?"
"Yaa kau lihat sendiri itu," jawab gurunya. "Namanya juga halusinasi, tak percaya juga bukan masalah kan? Toh Qur'an juga di zamanmu cuma sekedar dibaca, dihafal _thok_, tanpa dipahami dan diselami lebih dalam. Seperti dulu nabi bilang, _dongeng-dongeng_ leluhur saja,"
Si Jon tersadar dalam lamunannya saat mendengar adzan maghrib. Tapi halusinasi itu masih mengganggunya sampai saat ini. Kasian benar dia.
*teokrasi = sistem negara atas nama Tuhan.
Bandung, 22 Maret, 22 Ramadan 2025
