Dari mana asal keburukan?
Jika Tuhan maha baik, lalu dari mana asalnya keburukan?
Pertanyaan filosofis ini populer di kalangan para cendekia. Bahkan, Einstein pernah berdebat dengan gurunya perihal itu. Meski dengan diksi yang berbeda : Yaitu cahaya dan kegelapan. Jadi, dari mana keburukan berasal?
Ciri seorang terpelajar adalah tidak berhenti hanya dalam satu kesimpulan saja. Atau bahasa ilmiahnya, hipotesa. Justru biasanya dari satu hipotesis, menjadi tesis baru, lalu memunculkan anti-tesis, lalu sistesis baru. Terus begitu tak pernah usai. Apa batasnya? Fungsional. Kita membuat hipotesa berdasarkan fungsinya apa, jika ada masalah yang tidak cocok dengan hipotesa tersebut, maka tak ada cara lain kecuali mencari formulasi baru dari 3 tahapan di atas. Begitu juga dengan misteri baik buruk.
Tuhan maha baik, tapi mengapa ada nasib buruk? Mimpi buruk? Hari buruk? Dan sebagainya....
Kita sudah membaca 17 kesadaran seseorang di tulisan kemarin. Dalam fisika material, *pikiran membentuk realitas*. Maka, jika kita menganggap sesuatu itu buruk, maka itulah yang akan menjadi hipotesa keburukan dalam hidup kita. Secara singkat, keburukan muncul dari pikiran kita sendiri. Lebih jelasnya, selama kenyataan tak sesuai harapan/keinginan, maka itulah keburukan. Umumnya orang-orang berpikir begitu.
Lalu, mengapa seseorang merasa terpuruk dengan kenangan keburukan, dosa, atau kesalahan-kesalahan masa lalu? Bukankah kita tak hidup di sana (di waktu itu) lagi?
Ada 'kebenaran' korespondensi, ada 'kebenaran' koherensi. Kebenaran korespondensi adalah kebenaran yang disepakati orang-orang. Dan sangat mungkin itu tak berlaku untuk hidup kita. Harus begini, harus begitu, orang seringkali ingin mendikte. Tapi kita tahu apa yang terbaik untuk diri kita.
Kebenaran koherensi adalah kebenaran *ajeg*, tetap, mutlak. Kita tak harus membayar/memaksa orang untuk mengatakan bahwa bola itu bulat, api itu panas, lem itu lengket, dsb. Itu kebenaran _ajeg_. Berkaitan dengan keburukan, jadilah orang yang terbiasa mengecek pikiran-pikiran kita dengan kebenaran-kebenaran koherensi. Dalam bahasa ilmiah kita menyebutnya *verifikasi*, dalam bahasa tasawuf kita menyebutnya *tahqiq*.
Keburukan koherensi justru harus terlihat buruk. Para pelaku keburukan koherensi juga sebaiknya harus merasa _down_ , hina, malu, ketika melakukan keburukan itu. Sebab, jauh lebih bahaya merasa biasa saja (atau bahkan bangga) dengan keburukan jenis ini. Daripada berbangga diri dalam kebaikan. Iblis saja dilaknat sebab membanggakan kebaikan dan kecerdasannya di hadapan Tuhan - yang sebenarnya itu benar-benar buruk. Apalagi jika membanggakan keburukan? Eh, apa yang dibanggakan Iblis itu justru keburukan dan kebodohan, ya?
ذهب ظمء و بتلتل ءرق و ثبتل اجر انشا الله
Rabu, 12 April, 21 Ramadan 2023
