Makna di balik ayat : Jika Tuhan Menghendaki, Semuanya Beriman
Stephen Hawking pernah bilang sebelum ajal menjemputnya, bahwa _The Theory of Everything_ (teori dari segala sesuatu) akan menjelaskan semua pertanyaan. Baik pertanyaan saintifik ataupun yang berkaitan dengan spiritualitas. Prof. Habibie sempat mengomentari itu, Hawking bilang nanti tidak ada ruang lagi untuk keimanan. Dan beliau, 'orang besar' penemu theorema sayap pesawat terbang kita, menyebutnya (Hawking) sebagai orang gila.
Pertanyaan yang sama, ketika kita bahas tentang *Konsepsi ruang-waktu ke-3 : Kesadaran* (di lingkar diskusi kami). Dengan partikel *tachyon*, yang 27x lebih cepat dari kecepatan cahaya, kita bisa traveling antar galaksi secepat kita kirim chat WA. Persoalannya, dalam konsepsi ruang-waktu ke-3 itu, kausalitas jadi kacau. Kita tak tahu lagi mana sebab mana akibat. Masa lalu dan masa depan menjadi sesuatu yang nampak seperti candaan. Sebab, kita bisa ke masa lalu, secepat kita ke masa depan, dan kembali ke masa kini tanpa rentang waktu yang berubah terlalu lama (dengan kecepatan tachyon tadi). Ah, rumit.
Kembali ke kasus Hawking : adakah ranah iman ketika sains semakin mampu menjawab satu per satu apa yang dulu hanya kita yakini sebagai dasar-dasar spritualitas (agama)?
Jawabannya, tetap ada. Sebab, bahkan peradaban Jibril dan malaikat-malaikat tertinggi, peradaban pertama dari 5 peradaban semesta (peradaban terakhir adalah Adam dan keturunannya), itu tidak bisa masuk ke wilayah 'dimensi ke-6', ketika Rasulullah 'bertemu' dengan Allah di sidrah al Muntaha. Jibril dan makhluk-makhluk dimensi ke-5, tidak mampu mencapai itu. Lalu, bagaimana dengan manusia dengan teknologinya?
Konsekuensi dari apa yang Hawking katakan itu (semua pertanyaan tentang kehidupan terjawab), adalah menerima realitas spiritual secara utuh. Jika wilayah sub-atomik saja begitu kecil dan ternyata di sana ada 'semesta', bagaimana mungkin galaksi-galaksi dan wilayah spiritual (kita menyebutnya akhirat) tidak memiliki semesta yang hampir sama juga? Kecuali, yang dimaksudkan Hawking adalah semua pertanyaan/misteri semesta materil, semesta yang tampak oleh mata, dapat terjawab semua, itu mungkin.
Berbeda pendapat dari Hawking, sahabatnya, Sir Roger Penrose, mengatakan bahwa pusat kontrol kehidupan manusia itu bukan di otak atau pikiran. Melainkan ada 'kesadaran' besar, yang mengatur baik semesta materil (termasuk manusia) dan semesta spiritual. Penrose sepakat tentang wilayah kuantum yang justru semakin tinggi pencapaian sains fisika, justru semakin mendekati realitas spiritual (ini kata para fisikawan kuantum). Jadi, kita makin paham, ya, mengapa Allah berkata :
Yunus ayat 99
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?
Jadi... orang-orang ateis semakin _lucu_ saja, sebab, para fisikawan yang berusaha keras membuktikan *bahwa Tuhan tidak ada*, justru mereka 'terjebak' dalam spiritualitas kuantum. Begitu juga Hawking, di akhir hayatnya, ia mengakui dengan mantap bahwa Tuhan itu ada. Akhirnya, seperti seorang kekasih yang tak bisa membohongi perasaannya sendiri :
*Tidak ada jalan untuk seorang hamba (pecinta), kecuali menyusuri jalan Tuhannya juga*.
ذهب ظمء و بتلتل ءرق و ثبتل اجر انشا الله
Senin, 10 April, 19 Ramadan 2023
