Nunggu Maghrib (16)

Java Tivi
0

Kejanggalan Takdir



‎Mengapa orang baik (seakan) bernasib buruk dan orang jahat bernasib baik?


‎Ada buku yang secara epistemologi bisa menjawab pertanyaan itu. Judul bukunya *"Mengapa Orang Baik Bernasib Buruk"*, ditulis dengan sangat menghayati oleh seorang rahib yahudi. Awalnya, ia juga janggal dengan takdir itu. Sebagai rahib, ia merasa begitu 'dekat' dengan Tuhan, tapi mengapa nasib buruk terjadi padanya? Layaknya ustadz atau kyai yang dekat dengan Tuhan, namun bernasib buruk dalam hidupnya.


‎Jadi, mengapa?


‎Kita kupas dulu apa itu orang baik atau jahat. Anda merasa sudah menjadi orang baik? Atau, tidak pernah melakukan perbuatan buruk/salah? Ini mustahil. Selain qodrat kita sebagai manusia yang _harus_ bisa salah, juga sebagai bukti bahwa hanya Tuhan yang selalu maha benar. Kesalahan kita semakin membuktikan bahwa Tuhan-lah yang selalu benar.


‎Kita tentu pernah atau bahkan tiap hari berbuat baik. Tapi perbuatan baik itu tidak lantas menjadikan kita sebagai orang baik permanen/mutlak. Kita tetap masih bisa berbuat buruk atau salah, yang tidak otomatis kita tak bisa berbuat baik lagi. Sama halnya dengan orang yang berbuat jahat, bukan berarti dia adalah seorang penjahat. Atau bahkan sama sekali tak pernah berbuat baik. Maka, perbuatan baik atau buruk, itu hanya efek, dari sifat kita yang memang bisa berubah. Sifat-sifat baik atau buruk inilah yang akan menghasilkan buahnya di waktu tertentu.


‎_Sialnya_, rumus *aksi = reaksi* itu hanya berlaku secara langsung dalam hukum fisika (benda-benda materil). Contoh, tekanan dorongan tangan kita ke tembok itu sama dengan tekanan dorongan tembok ke tubuh kita. Dan ini akan lebih jelas kalau pakai sepatu roda. Aksi = reaksi berefek secara langsung.


‎Berbeda dalam hukum sosial atau bahkan hukum alam. Rumus itu tak harus berlaku secara langsung. Bisa jadi, itu sebagai konsekuensi. Doa-doa kita yang belum terwujud itu, jangan disesali. Sebab, Tuhan tak langsung menghukum saat kita salah itu juga adalah rahmat. Kesalahan-kesalahan itu bisa menjadi *istidroj*. Dari kata د ر ج menaiki dengan perlahan, tangga, anak-anak tangga. Bahwa istidroj, yang secara umum dibiarkan sesat dalam kenikmatan dunia, adalah sedang 'menaiki' satu takdir. Istidroj ini yang sering membuat kita janggal dalam melihat fenomena takdir. Orang baik yang bernasib buruk itu sedang naik ke dejarat (istidroj) kebaikan yang lebih tinggi. Dia seakan dibiarkan Tuhan meski telah banyak berbuat baik. Dan mendaki memang melelahkan. Coba tanya yang suka naik gunung. Pasti tahu benar rasanya. Kalau saya sih sukanya naik ranjang. Heheheh


‎Sebaliknya, _wajah_ umum istidroj adalah ketika kita disibukan dunia, lalu lupa mengkaji, lupa belajar, lupa muhasabah diri. Kita menyebut itu dalam setiap melihat orang jahat yang bernasib baik. Sedang sebenarnya, ia juga sedang menyusuri 'tangga', pelan-pelan turun menuju kebinasaan. Yah, memang dunia ini selalu saja tak mampu kita pahami seluruhnya. Maka, istirahatkanlah pikiran kita dari memikirkan hal-hal yang sudah Tuhan urus. Itu lebih nyaman.


‎ذهب ظمء و بتلتل ءرق و ثبتل اجر انشا الله


‎Jumat, 7 April, 16 Ramadan 2023

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)