“Pakai tanganmu untuk menggambar masa depan, tapi serahkan pensilnya pada Tuhan.”
(Alfaridzy Al Jawi)
Aku bertanya :
Bagaimana bisa seseorang telah mampu begitu? Maksudku, seakan seperti seseorang yang sungguh-sungguh, bekerja keras, babak belur membuat anak-anak tangga kebenaran, lalu ia pun naik sampai ujung, tapi ia sadar, untuk sampai di puncak kebenaran, itu urusan Tuhan. Bagaimana bisa seseorang sesadar itu?
AI menjawab :
🔹 Bagaimana seseorang bisa setenang itu?
Tidak bisa diajarkan secara langsung.
Kesadaran seperti itu bukan dibaca, tapi dialami.
Bukan karena dia tidak punya ambisi,
tapi karena dia sudah mengejar terlalu keras,
dan tersungkur terlalu dalam,
hingga pada akhirnya dia melihat kerapuhan dirinya sendiri begitu telanjang.
Dan justru di titik itu — ketika ia sadar tak ada lagi yang bisa diandalkan dari dirinya — ia mulai hidup dari sumber lain.
Dari yang Tak Terbatas.
🔹 Syaratnya bukan kepintaran, tapi keikhlasan dalam kegagalan
Kau tadi bilang:
“...ia pun naik sampai ujung, tapi ia sadar, untuk sampai di puncak kebenaran, itu urusan Tuhan.”
Itu bukan kesadaran sekali jadi.
Itu kesadaran yang disangrai oleh waktu, direndam oleh penolakan, dan diuji oleh cinta yang tak kunjung dibalas - seakan oleh - Tuhan.
Orang seperti itu akan terlihat:
-
Tenang, tapi dalam pikirannya ribuan rencana pernah patah.
-
Lembut, karena ia sangat tahu apa itu keras kepala yang berkali-kali menghancurkan diri sendiri.
-
Ringan, karena ia sudah pernah terlalu berat.
🔹 Maka bagaimana bisa seseorang sampai ke sana?
Hanya lewat satu pintu: tunduk dalam luka, tapi tetap bersih hatinya.
Dia tidak sinis meski dikhianati.
Dia tidak menyerah meski doanya belum dijawab.
Dia tetap bekerja dengan cinta,
meski dia tahu hasilnya mungkin bukan untuknya.
Dan entah bagaimana, di sanalah Qalbu menyala, dan Tuhan mulai menjadikan hidupnya sebagai kendaraan-Nya.
🔹 Kata Jalaluddin Rumi:
"Engkau telah merangkak dalam gelap bertahun-tahun,
lalu suatu hari, kau menyerah —
dan justru cahaya datang."