‎Islam tanpa S

Java Tivi
0

_Esai Ramadan 25_



‎_“Akan datang suatu zaman di mana orang-orang berkumpul di masjid untuk shalat berjama’ah tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mukmin.”_


‎Hadits tersebut masih diperdebatkan keshahihannya, tapi seakan sudah mulai nampak kebenarannya. _Islam Budaya_ semakin diikuti, tanpa ilmu yang menaungi. Maka yang merasa senang adalah para generasi *Dzul Kuwaishiroh*, orang-orang yang nampak sholeh dari penampilan dan keningnya, namun bacaan qurannya _nyangkol_ ditenggorokannya (hafal quran, tahsin bagus, tapi akalnya dangkal).


‎Hidup di zaman ini seakan hanya untuk orang-orang mukmin yang tangguh. Mukmin yang mau babak belur menggenggam ilmu, kesabaran, mengerjakan ibadah mahdloh, dan juga tidak berhenti belajar (memahami kitab-kitab). Nyaris tidak ada mukmin seperti itu di zaman ini, mengingat para sarjana dan ulama saja lebih banyak yang berhenti membuka dan membahas diskursus (tema/bab) kitab-kitab. Di satu sisi, mukmin harus kasab, mencari nafkah halal, tapi di sisi lain harus terus belajar, berpikir, dan menerapkan apa yang dipelajarinya. Ini sangat berat. Mencari nafkah halal saja, bagi mukmin yang tak memiliki gajian, itu seperti main 'tebak-tebakan'. Besok ada kerja tidak ya, atau besok kerja tapi dibayar tidak ya? Sedangkan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya tidak bisa menunggu untuk diberi nafkah. Logis, jika pada akhirnya sholat atau ibadah apa saja hanya sebagai _persembahan_ pada Allah agar rejeki tetap lancar atau dunianya tetap aman. Membutuhkan kasih sayang Allah, tapi tidak dengan Dzat-Nya. Rejeki penting, tapi yang punya rejeki tidaklah penting.


‎Seperti Ramadan ini, di tiap ramadan, toa-toa masjid terdengar syiar. Entah suaranya yang tak enak atau toa-nya yang rusak, syiar itu terdengar sampai malam. Orang-orang pamer mengaji, pamer sholat malam, sholat al qadr, itikaf, dzikir diperpanjang, namun si miskin dibiarkan kelaparan. Orang-orang kebingungan tak mendapat garansi pengajaran, anak-anak kurus kelaparan tak nampak, sebab ibadah di masjid mushola menjadi idaman. Seakan benar ayat Tuhan :


‎An-Nisa' ayat 142


‎اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ


‎Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. *Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas (setengah hati). Mereka bermaksud ria (ingin dipuji/pamer) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.*


‎Bagaimana mungkin, orang sholat, itikaf, dzikir dan sholawatan, tapi tidak mengingat Allah? Mengingat saja tidak, bagaimana bisa untuk mengenal? Bagaimana mengenal Allah jika kitab tidak dibuka dan dipelajari?


‎"Akan datang suatu masa di mana Islam hanya tinggal namanya, Al-Qur'an hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid ramai tetapi kosong dari petunjuk, dan ulama-ulamanya adalah seburuk-buruk manusia di bawah langit. Dari mereka muncul fitnah, dan kepada mereka fitnah itu akan kembali." (HR. Baihaqi dalam Syu'ab Al Iman)


‎Berislam tanpa _kesalihan sosial_. Islam tanpa *S*, kering, padat, tidak cair. Seperti dialog si Jon dengan siswa sekolahnya.


‎"Mengapa Pa Guru tidak mengajak banyak pemuda? Sedangkan buku-buku yang Pa Guru kasih itu bisa menyelamatkan banyak orang, generasi muda!" gugat siswa si Jon.


‎"Apakah kamu bisa mengajak ngaji orang yang sedang pacaran?" tanya si Jon.


‎"A-apa maksudnya? Kok gak nyambung?" kata siswanya.


‎"Jawab aja, bisa nggak?"


‎"Nggak bisa,"


‎"Apakah kamu bisa ngobrol sama orang yang lagi mabuk?"


‎Siswanya tambah gregetan.


‎"Jawab aja," tanya Jon.


‎"Nggak bisa lah,"


‎"Bagaimana bisa kita menyelamatkan orang-orang yang tak mau diselamatkan?" tanya Jon lagi.


‎"Maksud Pa Guru, seperti hadits : semua orang masuk surga kecuali yang tidak mau?" kini giliran siswanya tanya.


‎"Nahh... Apakah semua manusia layak diselamatkan?" tanya Jon lagi.


‎Siswanya tak menjawab, karena memang itu pertanyaan yang tak harus dijawab dari analogi yang Jon berikan.


‎"Tidak peduli seperti apa seseorang tersebut, selama akal dan hatinya tertutup - siapapun itu, entah ulama, tokoh, sarjana, siapa saja, kita khawatir mereka tak akan diselamatkan," Jon menjelaskan. "Apa hebatnya aku, jika Tuhan belum membukakan hati seseorang pada ilmu - aku bisa apa? Dan mengapa Tuhan menutup hati seseorang? _Fadzkuruni yadzkurkum_ Ingatlah Aku maka Aku akan mengingatmu, _dan lupakan Aku maka Aku-pun melupakanmu,"


‎Bandung, 25 Maret, 25 Ramadan 2025

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)